Satelit ESA Konfirmasi Anak Krakatau Pemicu Tsunami Selat Sunda

Senin, 24 Desember 2018 - 11:08 WIB
Satelit ESA Konfirmasi Anak Krakatau Pemicu Tsunami Selat Sunda
Satelit ESA Konfirmasi Anak Krakatau Pemicu Tsunami Selat Sunda
A A A
WELLINGTON - Gambar satelit Sentinel-1 milik Badan Antariksa Eropa (ESA) mengonfirmasi longsoran sebelah selatan Gunung Anak Krakatau meluncur ke laut. Para ilmuwan menyatakan, longsoran akibat erupsi gunung berapi itulah yang memicu tsunami Selat Sunda .

Data terkini dari dampak tsunami yang melanda kawasan pantai di Banten dan Lampung Selatan itu menyatakan 280 orang tewas dan ratusan orang lainnya terluka. Banyak bangunan juga rusak berat.

Para ilmuwan mengatakan pada hari Senin (24/12/2018) bahwa konsensus, berdasarkan pada gambar satelit dan informasi yang tersedia, adalah bahwa runtuhnya sebagian gunung berapi memicu gelombang pembunuh.

"Longsor bawah laut adalah teori utama," kata Sam Taylor-Offord, seismolog di GNS Science di Wellington, yang dikutip Reuters.

"Jadi ketika daratan itu mendorong ke lautan...itu menggeser permukaan lautan menyebabkan perpindahan vertikal yang menyebabkan tsunami," katanya. Namun, dia mengakui kurangnya data dan akses membuat mustahil untuk memastikan teori tersebut.

Gunung Anak Krakatau, yang berada di antara Jawa dan Sumatra, telah memuntahkan abu dan lava selama berbulan-bulan. Gunung itu erupsi sekitar 24 menit yang menyebabkan longsor ke bawah laut dan memicu tsunami Selat Sunda.

Taylor-Offord mengatakan letusan dan kebisingan yang tinggi mungkin menjadi alasan mengapa tanah longsor Anak Krakatau itu tidak terekam secara seismik.

Para ilmuwan mengatakan, fakta bahwa tsunami dipicu oleh gunung berapi, dan bukan oleh gempa bumi. Hal ini menjadi alasan mengapa tidak ada peringatan dini tsunami yang dikeluarkan otoritas terkait di Indonesia.

Penduduk di kawasan pantai mengaku tidak melihat atau merasakan tanda-tanda akan adanya tsunami, seperti gempa bumi atau air surut di sepanjang pantai. Tiba-tiba gelombang setinggi sekitar tiga meter muncul.

Jose Borrero, pakar teknik pesisir yang berspesialisasi dalam bahaya tsunami di eCoast Marine Consulting, mengatakan tsunami vulkanik yang dihasilkan oleh tanah longsor berperilaku aneh, dibandingkan dengan tsunami yang dihasilkan oleh gempa bumi.

Menurutnya, hal itu karena ada begitu banyak variabel yang berbeda dan ada "sweet spot" dengan kecepatan dan volume batuan yang tepat, yang menyelinap masuk ke laut dan lebih dalam untuk menghasilkan gelombang.

"Di Indonesia, kita semua telah menunggu tsunami gempa besar lainnya dan kemudian boom, di sini kita mengalami longsor gunung berapi," kata Borrero.

"Saya telah melihat beberapa penggambaran yang menunjukkan ada semacam keruntuhan miring yang mungkin meluas di bawah air (laut), tetapi tidak ada yang akan dikonfirmasi sampai ada survei lepas pantai di mana itu bertindak dan memetakan dasar laut," ujarnya.

Anak Krakatau Berbahaya


Gunung Anak Krakatau muncul dari gunung berapi Krakatau, yang pada tahun 1888 meletus dengan kekuatan dahsyat, yang ledakannya terdengar sampai Perth. Hal itu disampaikan Mika McKinnon, ahli geofisika yang berbasis di Vancouver, Kanada.

Erupsi lebih lanjut berlanjut dari kawah besar yang tertinggal.

McKinnon mengatakan gunung berapi itu sejatinya rapuh, di mana tumpukan bebatuan yang terikat longgar dan semuanya miring ke bawah. Bebatuan itu tergelincir sepanjang waktu.

Jika hal itu terjadi dalam porsi besar, maka itu akan menggantikan air yang cukup untuk memicu tsunami. Tidak ada sistem peringatan dini yang dapat mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh tanah longsor.

Anak Krakatau sangat dekat dengan pantai sehingga tidak akan pernah ada cukup waktu untuk bereaksi dan membersihkan populasi.

"Sulit untuk mengidentifikasi tsunami yang dipicu oleh tanah longsor, terutama cukup cepat untuk mengeluarkan peringatan yang berguna," kata McKinnon.

"Peristiwa serupa pada Anak Krakatau mungkin memicu yang lain, atau mungkin juga tidak. Mungkin sebulan kemudian, atau setahun dari sekarang. Kita tidak akan pernah tahu," katanya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3999 seconds (0.1#10.140)