Mengintip Sekularisme di Turki dari Ataturk hingga Erdogan

Kamis, 06 Desember 2018 - 17:19 WIB
Mengintip Sekularisme di Turki dari Ataturk hingga Erdogan
Mengintip Sekularisme di Turki dari Ataturk hingga Erdogan
A A A
ANKARA - Ketika Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Republik Turki hampir seabad yang lalu, mantan pemimpin militer itu menyingkirkan agama dari ruang publik dan melihat Barat sebagai kiblat untuk mendapatkan inspirasi.

Setelah mengganti hukum Islam (syariah) dengan peraturan sipil Eropa, Ataturk memasang prinsip-prinsip sekularisme ke dalam konstitusi. Penerapan nyata dari prinsip-prinsip itu antara lain melarang azan kaum Muslim dalam bahasa Arab dan mendorong integrasi sosial dari jenis kelamin, reformasi yang secara radikal untuk mengubah tatanan Muslim.

Sekularisme yang dirintis Bapak Turki Modern itu seperti menjadi "kejutan" bagi Turki. Sebab, negara itu sebelumnya adalah tempat berkuasanya Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) yang sangat Islami.

Setelah hampir seabad, identitas sekularisme di negara itu tidak jelas. Presiden Recep Tayyip Erdogan yang sudah berkuasa lebih dari 16 tahun menyatakan sistem Turki tetap sekularisme. Namun, faktanya, dia mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah agama dan di pemerintahannya nyata-nyata ada lembaga agama bernama Diyanet yang "ikut campur" masalah keagamaan publik.

Sampai saat ini model demokrasi Turki masih jadi perdebatan publik, apakah menganut demokrasi model dunia Islam dan meninggalkan model sekulernya atau tetap pada model sekuler yang dirintis Ataturk secara murni.

Selam balasan tahun, Erdogan dan partainya; Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)-nya telah mendominasi politik negara itu, menjadikan negara yang secara konstitusional sekuler menjadi lebih religius dan konservatif.

Erdogan dan AKP-nya telah mencoba menafsirkan kembali sekularisme. Sebagai contoh, Erdogan dan partainya menolak untuk melanjutkan larangan ketat terhadap agama dari semua domain publik dan pembatasannya untuk kehidupan pribadi.

Terlebih lagi, Erdogan telah berulang kali mengatakan bahwa "hanya negara yang dapat menjadi sekuler, bukan individu".

Pada awal 2012, Erdogan pernah memicu kehebohan ketika dia mengatakan ingin melihat "generasi yang saleh". Selanjutnya, parlemen menyetujui undang-undang yang memungkinkan sekolah-sekolah agama, yang dikenal sebagai hatips imam, untuk mengambil siswa berusia 11 tahun.

Ketika menjelang pemilu Juni lalu, kelompok-kelompok oposisi menggambarkan Erdogan sebagai "Caliph-in-waiting" yang mencari kekuatan besar untuk mengubah undang-undang negara itu untuk lebih mencerminkan identitas Muslim-nya yang sedang tumbuh.

"Ada paradoks besar dalam kepemimpinan AKP," kata Baris Yarkadas, seorang anggota parlemen Partai Rakyat Republik (CHP), sebuah partai kiri dan sekuler.

"Satu sisi, Partai AK mengklaim sebagai sekuler. Di sisi lain, mereka tidak setuju dengan beberapa pandangan Mustafa Kemal Ataturk dan ingin meruntuhkan republik," ujarnya.

Tidak terbebani oleh agama, Ataturk mempromosikan tradisi dan budaya Turki kuno sebagai bagian dari serangkaian reformasi dengan maksud bahwa nasionalisme akan mengatasi ide dari umat Islam, atau komunitas Muslim global.

Membangun negara di sekitar kader elite sekuler, ide-idenya—yang dikenal sebagai Kemalisme—menyalahkan runtuhnya Kekaisaran Ottoman tentang agama dan mengubah hampir setiap aspek kehidupan Turki selama delapan dekade ke depan.

Politisi AKP, Fatma Benli, mengkritik sekularisme yang salah kaprah. "Sekularisme dipaksakan pada orang-orang seolah-olah itu adalah agama," kata Benli, anggota parlemen yang berbasis di Istanbul.

Ataturk pernah melarang pria mengenakan fez, dan terkenal mengadopsi topi Panama untuk dikenakan dengan setelan dan dasi Barat-nya. Itu adalah salah satu contoh ide Ataturk yang dikritik Benli. Menurutnya, ide itu meminggirkan populasi yang didominasi Muslim.

"Saya tidak bisa pergi ke taman sekolah saya karena saya mengenakan jilbab," katanya, menggambarkan periode selama tahun 1980-an dan 1990-an ketika jilbab dilarang di kantor-kantor pemerintah, rumah sakit, universitas, dan sekolah.

"Sejak Partai AK berkuasa, situasi telah kembali normal, dan Muslim dapat menikmati hak yang sama seperti warga Turki lainnya," katanya kepada Al Jazeera.

Partai AK, yang menata dirinya sebagai ekuivalensi ideologis dari Partai Demokrat Kristen yang konservatif di Eropa barat, dibentuk pada tahun 2001, setelah pendahulunya; Partai Kebajikan, dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki karena kegiatan "anti-sekuler"-nya.

Partai AK terus melaju dengan kemenangan setahun kemudian, dan melakukan reformasi liberal, mencapai keberhasilan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengubah ekonomi yang dilanda krisis dengan menggencarkan perdagangan dan investasi asing. Partai ini mengesampingkan bidang militer yang telah menggerogoti demokrasi Turki dalam serangkaian kudeta antara 1960, 1971, 1980 dan kudeta pasca-modern pada tahun 1997.

Selama 16 tahun sejak berkuasa, Partai AK sebagian besar bersikap pragmatis terhadap isu agama dan bersikeras bahwa negara Turki akan tetap sekuler, bahkan jika negara itu beralih ke presidensi eksekutif yang saat ini benar-benar terjadi.

Pada tahun 2016, ketika politikus Partai AK dan anggota parlemen Ismail Kahraman menyarankan bahwa prinsip-prinsip yang tidak dapat dibatalkan yang mengabadikan sekularisme dihapus dari konstitusi, Erdogan menjauhkan diri dari pernyataan tersebut.

"Turki mungkin tampak lebih Islami sekarang daripada beberapa dekade yang lalu, tetapi ketika kita melihat pada tatanan masyarakat Turki, politik negara itu masih bersifat sekuler," kata teolog liberal Islam Ihsan Eliacik.

"Dalam referendum terakhir, partai yang berkuasa hanya dimenangkan oleh mayoritas kecil. Dan ini menggambarkan betapa terpecahnya masyarakat Turki," ujarnya.

Benli menambahkan bahwa reduktif dan usang untuk berbicara tentang politik Turki secara ketat dalam hal pemisahan antara agama dan sekularisme.

"Turki selalu dibagi menjadi beberapa kelompok, apakah Turki, Kurdi, sekuler, atau non-sekuler. Label semacam itu sangat berbahaya dan memecah belah," katanya.

"Partai AK selalu memiliki dan terus mempertahankan bahwa ini adalah partai demokrasi," ujarnya.

Para pendukung Erdogan, bagaimanapun, berpendapat bahwa seorang presiden eksekutif dapat memungkinkan Partai AK untuk meninjau kembali beberapa isu kontroversial, dan mempromosikan nilai-nilai dan sentimen sosial konservatif yang dipegang banyak orang.

"Turki bukan Iran," kata Mehmet Can, programmer komputer berusia 30 tahun dan pendukung Partai AK.

"Turki mempraktikkan merek sekularismenya sendiri dan hanya menentang sekularisme militan," lanjut dia.

Menurut Fadi Hakura dari Chatham House, kelompok think tank yang berbasis di London, sekularisme sulit untuk didefinisikan di Turki. Turki secara konstitusional adalah negara sekuler, tetapi sekularisme telah mengambil bentuk yang unik, karena keadaan historis dan geografis di negara itu.

Para kritikus mempertanyakan adanya Direktorat Urusan Agama atau Diyanet di negara yang menyatakan diri sebagai negara sekuler tersebut. Direktorat ini dikelola oleh pejabat publik dan didanai dari kas negara; tetapi hanya menawarkan layanan kepada Muslim Sunni (mayoritas warga Turki).

Sedangkan minoritas seperti Kristen dan Yahudi, Muslim Alevi non-Ortodoks dan non-Muslim tidak menerima layanan apa pun dari Diyanet.

Asosiasi Industri dan Bisnis Turki (Tusiad) telah menyatakan bahwa sekularisme di Turki berbeda dari versinya di Barat karena negara belum memisahkan dirinya secara merata dari semua agama, kepercayaan dan non-keyakinan.

"Status Direktorat Agama saat ini adalah melawan sekularisme serta kebebasan beragama dan hati nurani," kata asosiasi tersebut.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3571 seconds (0.1#10.140)