Dua Mantan Pemimpin Khmer Merah Divonis Seumur Hidup

Jum'at, 16 November 2018 - 14:02 WIB
Dua Mantan Pemimpin Khmer Merah Divonis Seumur Hidup
Dua Mantan Pemimpin Khmer Merah Divonis Seumur Hidup
A A A
PHNOM PENH - Dua mantan pemimpin kelompok Khmer Merah yang masih hidup dihukum atas tuduhan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang oleh pengadilan internasional. Khmer Mereha memerintah Kamboja secara brutal pada tahun 1970-an.

Nuon Chea dan Khieu Samphan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, hukuman yang sama dijatuhkan kepada mereka pada persidangan sebelumnya untuk kejahatan terhadap kemanusiaan terkait dengan pemindahan paksa dan penghilangan massal orang. Kamboja tidak memiliki hukuman mati.

Namun kedua pria itu mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran penganiayaan politik.

Putusan yang dibacakan di ruang sidang oleh Hakim Nil Nonn menetapkan bahwa Khmer Merah melakukan genosida terhadap minoritas Vietnam dan Cham. Schoars memperdebatkan apakah penindasan terhadap Chams, sebuah kelompok etnis Muslim yang anggotanya telah melakukan perlawanan kecil tetapi sia-sia terhadap Khmer Merah, sebesar genosida. Pengadilan menemukan Khieu Samphan tidak bersalah melakukan genosida terhadap Cham, karena kurangnya bukti, meskipun ia dinyatakan bersalah melakukan genosida terhadap etnis Vietnam di bawah prinsip tanggung jawab komando seperti dikutip dari Huffington Post, Jumat (16/11/2018).

Khmer Merah berusaha mencapai utopia agraria dengan mengosongkan kota-kota untuk membangun komune pedesaan yang luas. Sebaliknya, kebijakan radikal mereka mengarah pada apa yang disebut "genosida otomatis" melalui kelaparan, kerja paksa dan eksekusi.

Kejahatan terhadap kemanusiaan meliput kegiatan di kamp kerja dan koperasi yang didirikan oleh Khmer Merah. Pelanggaran-pelanggaran ini meliputi pembunuhan, pemusnahan, deportasi, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, penganiayaan atas dasar politik, agama dan rasial, serangan terhadap martabat manusia, penghilangan paksa, pemindahan paksa, kawin paksa, dan perkosaan.

Pelanggaran Konvensi Jenewa yang mengatur kejahatan perang termasuk pembunuhan yang disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi.

Nuon Chea (92) dibawa oleh ambulans dan Khieu Samphan dengan van dari penjara terdekat di mana mereka ditahan. Penjara dan gedung pengadilan dibangun khusus untuk penggunaan persidangan, yang secara resmi disebut Persiangan Luar Biasa di Pengadilan Kamboja, atau ECCC.

Kedua terdakwa hadir saat Hakim Nil Nonn membuka persidangan, tetapi Nuon Chea menderita masalah jantung, sehingga diberi izin untuk kemudian pindah dari ruang sidang ke ruang tahanan yang terpisah.

Khieu Samphan (87) menghadiri seluruh sidang dan dengan bantuan dua penjaga keamanan berdiri saat putusannya dibacakan. Ia tidak menunjukkan emosi yang jelas.

Selain Nuon Chea dan Khieu Samphan, pengadilan telah melakukan satu penuntutan lain, yang menghasilkan putusan pada tahun 2010 terhadap Kaing Guek Eav, yang dikenal sebagai Duch. Ia adalah kepala sistem penjara Khmer Merah yang menjalankan pusat penyiksaan Tuol Sleng yang terkenal di Phnom Penh.

Ada kekhawatiran bahwa politik akan menggagalkan pengadilan dari melakukan penuntutan lebih lanjut.

Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, telah menyatakan bahwa dia tidak akan mengijinkan kasus berjalan lebih jauh dengan mengklaim hal itu akan menyebabkan ketidakstabilan. Hun Sen adalah seorang komandan Khmer Merah yang membelot ketika kelompok itu berkuasa dan didapuk di pemerintahan setelah Khmer Merah digulingkan dari kekuasaan oleh invasi Vietnam.

Pekerjaan awal telah dilakukan pada dua kasus lagi yang melibatkan empat anggota tingkat menengah Khmer Merah, tetapi mereka telah "dipetieskan" oleh pengadilan, yang merupakan pengadilan hibrida di mana para jaksa dan hakim Kamboja dipasangkan dengan rekan-rekan internasional.

Kegagalan untuk memiliki proses yang lebih luas telah mengecewakan beberapa pengamat, tetapi yang lain menunjuk pada pencapaian tribunal.

“Pengadilan internasional lebih baik daripada alternatif, impunitas. Mereka akan selalu politis dan gagal memenuhi harapan,” Alexander Hinton, seorang profesor antropologi di Rutgers University dan penulis dua buku tentang pengadilan, mengatakan menjelang vonis.

"Tapi keadilan biasanya disampaikan, bahkan jika kadang-kadang, seperti yang terjadi dengan ECCC, itu terhuyung-huyung di garis finish," tukasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3838 seconds (0.1#10.140)