Nobel Perdamaian untuk Dua Aktivis Antikekerasan Seksual

Sabtu, 06 Oktober 2018 - 09:38 WIB
Nobel Perdamaian untuk Dua Aktivis Antikekerasan Seksual
Nobel Perdamaian untuk Dua Aktivis Antikekerasan Seksual
A A A
BERN - Ginekologis asal Kongo, Denis Mukwege, dan korban perbudakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Nadia Murad meraih penghargaan Nobel Perdamaian kemarin.

Keduanya dianggap layak meraih penghargaan tersebut karena berjasa dalam membangun perdamaian di muka bumi dengan menentang kekerasan seksual. Mereka dianggap Komite Nobel Norwegia (Norwegian Nobel Committee/-NNC) berjuang mengakhiri tindakan kekerasan seksual selama perang sipil di Kongo dan di Irak sejak beberapa tahun terakhir.

Mukwege merupakan pemimpin Rumah Sakit (RS) Panzis di timur Kota Bukavu, Kongo. Didirikan pada 1999, lembaga medis itu menerima ribuan pasien perempuan setiap tahun, mayoritas adalah korban kekerasan seksual.

Mukwege mengabdikan dirinya untuk melindungi korban tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Adapun Nadia adalah kelompok minoritas Yazidi, etnoreligusitas yang mempraktikkan agama sinkretisme. Dia memilih menjadi aktivis hak asasi perempuan setelah berhasil selamat dari perbudakan ISIS di Mosul, Irak.

Perempuan berusia 25 tahun itu menjadi saksi hidup pelanggaran HAM yang banyak terjadi di negaranya. “Kedua pemenang penghargaan tanpa lelah terus melawan salah satu aksi kejahatan perang itu,” ungkap NNC.

Perjuangan Mukwege membantu perempuan korban pemerkosaan sejak Perang Kedua Kongo. Dia bekerja selama 18 jam perhari. Pada 25 Oktober 2012, empat lelaki bersenjata menyerang rumahnya hingga anaknya disandera. Mukwege yang tidak berada di lokasi berhasil selamat.

Sejak itu, dia mengasingkan diri menuju Eropa. Kepergiannya membuat operasional RS Panzis lumpuh. Mukwege akhirnya pulang ke Bukavu pada 14 Januari 2013. Saat itu banyak masyarakat Kongo menyambutnya dengan hangat di sepanjang jalan dari Bandara Kavumu.

Tiket kepulangannya dibeli masya rakat Kongo yang menggalang dana dari penjualan nanas dan bawang. Sejak 1999, RS Panzis telah menerima lebih dari 85.000 pasien perempuan dengan luka ginekologi yang serius, sekitar 60% disebabkan kekerasan seksual.

Mayoritas pasien berasal dari wilayah perang. Sebagian pasien bahkan digambarkan Mukwege datang tanpa memakai busana dengan kondisi yang amat mengenaskan. Sementara itu, sepak terjang Nadia dimulai ketika perkampungannya diserang ISIS saat masih berusia 21 tahun pada 2014.

Sejumlah orang tewas dibunuh, terutama lakilaki. Namun, Nadia bersama 6.700 perempuan lainnya dikecualikan dan menjadi tahanan perang. Dia kabur dan disembunyikan keluarga muslim Sunni sebelum dibantu kabur dari Mosul.

Pada 2017, Nadia memublikasikan memoar berjudul The Last Girl yang menceritakan kisah hidupnya selama menjadi tahanan perang hingga akhirnya menjadi aktivis HAM. “Pada beberapa waktu telah terjadi pemerkosaan,” tulis Nadia di dalam memoarnya.

Saat ini dia tinggal di Jerman dalam sebuah program pengungsi. Nobel Perdamaian di serahkan kepada aktivis anti kekerasan seksual menyusul tingginya kekerasan seksual dalam 12 bulan terakhir.

Namun, Kepala NNC Berit Reiss-An-dersen mengatakan perlawanan terhadap kekerasan seksual selama perang dan tindakan serupa seperti gerakan #metoo tidak dapat disamakan derajatnya.

Kekerasan seksual selama perang telah terjadi sejak zaman dulu, dari Perang Bosnia hingga Rwanda. Perempuan selalu menjadi korban pemerkosaan, penganiayaan, dan eksekusi. Bahkan, sejumlah kelompok sengaja melakukan pemerkosaan secara sistematis sebagai senjata perang untuk pembersihan etnis.

Berdasarkan tim pencari fakta European Community, lebih dari 20.000 perempuan muslim Bosnia juga diperkosa sejak perang meletus pada April 1992, terutama anak remaja. Dalam beberapa kasus di Rwanda, setiap perempuan yang berhasil selamat dari penyerangan selalu berakhir hamil dan membawa “janin musuh”.

Sebagian besar korban pemerkosaan dikucilkan keluarganya dan masyarakat. Beberapa perempuan membuang bayi mereka, sedangkan yang lainnya bunuh diri. Dampak pemerkosaan sangat luas karena ditanggung seluruh keluarga.

Beban berat psikologi itu sering dimanfaatkan berbagai kelompok untuk dijadikan senjata. Selain diperkosa, perempuan juga sering dipaksa mem praktikkan prostitusi dan men jadi korban perdagangan manusia, terkadang tanpa ada aksi apa pun dari pemerintah.

Selama Perang Dunia II, kaum perempuan ba nyak diculik, di tahan, dan dijadikan pemuas naf su. Tragedi serupa juga terjadi selama Perang Vietnam. Lembaga State of the World Children melaporkan, selama perang banyak anggota laki-laki yang kemedan tempur sehingga perempuan rentan menjadi korban kekerasan.

Di Bosnia, Myanmar, dan Somalia, banyak keluarga yang memutuskan mengungsi ketempat lain karena takut disiksa dan menjadi korban pemerkosaan. Perempuan yang menjadi korban pemerkosaan juga terkadang terinfeksi penyakit me nular seperti HIV/AIDS.

Pergerakan aktif pengungsi, penyerbuan militer, dan kelumpuhan layanan kesehatan telah mem perburuk kondisi mereka. Aturan internasional dan code of conduct juga tidak bisa me lindungi hak-hak mereka.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3506 seconds (0.1#10.140)