Filipina Terancam Sanksi Amerika Serikat

Kamis, 19 Juli 2018 - 12:03 WIB
Filipina Terancam Sanksi Amerika Serikat
Filipina Terancam Sanksi Amerika Serikat
A A A
MANILA - Filipina berisiko melanggar sanksi Amerika Serikat (AS) jika melanjutkan pembelian peluncur granat dari perusahaan Rusia yang masuk daftar hitam.

Kesepakatan itu dapat menguji aliansi keamanan antara AS dan Filipina yang telah berlangsung lama. Pejabat militer Filipina yang mengetahui kesepakatan itu menjelaskan, Manila telah menyetujui pada Oktober 2017 untuk membeli 750 unit RPG-7B atau granat berpeluncur roket dari perusahaan negara Rusia, Rosoboronexport, tapi transfer dana sebesar USD7,48 juta belum dilakukan.

Sanksi AS diterapkan tahun lalu terhadap negara manapun yang berbisnis dengan sektor intelijen dan pertahanan Rusia. Undang-undang (UU) itu didesain untuk menghukum Rusia yang mencaplok Crimea dari Ukraina pada 2014, dukungan Moskow pada pemerintah Suriah dan tuduhan mencampuri pemilu presiden AS 2016.

Rusia telah menyumbangkan senapan serbu dan truk pada Filipina tapi peluncur granat itu akan menjadi pembelian pertama Manila pada persenjataan Rusia. Filipina sejak lama tergantung pada AS sebagai sumber utama perangkat dan dukungan militer.

Jika kesepakatan itu dilanjutkan maka dapat menambah ketegangan aliansi keamanan AS dan Filipina yang telah berjalan 70 tahun. Hubungan Washington dan Manila memburuk sejak Rodrigo Duterte menjadi presiden Filipina.

Duterte ingin mempererat hubungan dengan China dan Rusia serta memerintahkan militer dan kepolisian untuk meningkatkan kerja sama dengan dua negara itu. Beijing dan Moskow juga tidak menerapkan banyak syarat dalam pembelian senjata oleh Filipina.

Beberapa anggota parlemen AS berupaya menghalangi penjualan 26.000 senapan serbu ke Filipina pada Mei 2017 karena masalah hak asasi manusia (HAM) dalam kampanye anti-narkoba yang menewaskan ribuan warga Filipina.

Duterte membatalkan kesepakatan itu serta membeli beberapa helikopter buatan Kanada senilai USD233 juta meski ada kekhawatiran tentang penggunaan helikopter itu.

Pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menyatakan, pemerintah asing dan sektor swasta yang melakukan transaksi dengan 39 entitas yang masuk dalam daftar hitam akan mendapat sanksi. Rosoboronexport masuk dalam daftar hitam pada April lalu.

Aliansi AS yang membeli senjata dan perlengkapan dari Rusia juga akan mendapat sanksi. Pejabat Deplu AS itu menolak menyebutkan secara rinci sanksi-sanksi yang dapat diterapkan pada Filipina jika tetap melanjutkan kesepakatan itu dengan Rosoboronexport.

Pejabat pertahanan Filipina menyatakan, AS tidak secara resmi menyebut Manila tentang pembatasan transaksi dengan Rosoboronexport. “Ini masih berjalan hingga kami diberi tahu,” ujar pejabat itu secara anonim karena tidak berwenang berbicara pada media.

Pakar keamanan Filipina Jose Antonio Custodio memperingatkan, kesepakatan persenjataan Rusia dapat mempengaruhi hubungan keamanan dengan aliansinya, tidak hanya dengan AS tapi juga pada Jepang dan Australia.

“Jika pemerintahan Duterte tetap mempertahankan hubungan antara militer dengan Rusia, itu mungkin memicu tekanan dari aliansi untuk menerapkan sanksi internasional pada negara itu atas perilaku buruk,” kata Jose, dikutip kantor berita Reuters.

Sementara, Filipina akan memulai negosiasi kesepakatan perdagangan bebas dengan AS pada September untuk memperluas akses pasar produk-produk pertanian. Duta Besar Filipina untuk AS Jose Manuel Romualdez menjelaskan itu pekan lalu.

Menurut dia, perundingan pertama akan digelar di Washington dan fokus pada tenaga kerja, hak kekayaan intelektual dan pertanian. Perundingan ini dilakukan saat Manila ingin mendorong ekspor ke pasar asing.

“Ini hanya awal dan akan membutuhkan waktu, mungkin satu atau dua tahun,” kata Romualdez yang menambahkan Filipina memiliki surplus perdagangan USD5,4 miliar dengan AS pada 2016. AS merupakan salah satu mitra dagang utama Filipina.

Romualdez menjelaskan, kesepakatan perdagangan bebas dengan AS tampaknya akan disetujui karena Filipina merupakan mitra dagang yang lebih kecil dibandingkan China dan Eropa yang menjadi target kebijakan Presiden AS Donald Trump.

Perang dagang antara AS dan China meningkat setelah Trump mengancam tarif 10% pada barang-barang China senilai USD200 miliar. (Syarifudin)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3438 seconds (0.1#10.140)