Tegakkan Hukum Sekalipun Langit Akan Runtuh

Jum'at, 29 Desember 2023 - 15:01 WIB
loading...
Tegakkan Hukum Sekalipun Langit Akan Runtuh
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

JARGON tersebut yang dikemukakan pada abad yang lampau sesungguhnya merupakan cermin dari ketidakadilan yang diketahui dan dirasakan oleh kaum lemah terhadap perlakuan diskriminatif alat kekuasaan negara terutama karena pengaruh kronisme dan kolusi baik atas dasar kepentingan politik maupun oligarki.

Pengalaman sistem pemerintahan Indonesia hanya dua peristiwa terjadi terkait hal tersebut yaitu pada masa era pemerintahan Soeharto dan selama era pemerintahan Joko Widodo , itu pun terjadi di akhir masa jabatan. Dari segi objektivitas sejatinya hal yang sama juga terjadi negara lain terutama di negara Amerika Latin dan negara Asia lainnya.

Selama sepanjang usia terbentuknya negara sekalipun jarang negara mengklaim dirinya negara demokratis, dari rakyat dan untuk rakyat, jargon sebagaimana judul tulisan ini tidak pernah (akan) dapat diwujudkan karena sejatinya bertentangan dengan karakter kekuasaan (negara) itu sendiri sebagai pemilik mandat rakyat untuk mengatur hak hidup, hak politik, dan hak hukum.

Hal sama juga terjadi ketika sejak masa Aristoteles abad 5 SM menciptakan konsep tujuan hukum atau tepatnya tujuan manusia menciptakan hukum yakni kepastian dan keadilan. Dilengkapi Gisrav Radbrich dengan tujuan kemanfaatan, tujuan hukum selengkapnya, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Tiga tujuan hukum tersebut juga tidak semudah mengucapkannya karena dalam praktik hukum tetap saja pengaruh karakter manusia terutama pemegang kekuasaan negara khususnya alat negara tidak terlepas dari intervensi kepentingan (interest) baik kepentingan politik maupun kronisme, apakah kemudian kita harus memisahkan hukum dari kekuasaan, sesuatu hal mustahil terjadi karena hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan belaka akan tetapi kekuasaan tanpa hukum sama saja dengan anarki. Intinya, hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkan hanya dapat dibedakan saja.



Kesulitan pemikiran manusia tentang hukum bersifat kompleks karena kehidupan manusia selalu berkelindan dengan hukum, sejak dilahirkan sampai dewasa, telah ada efeknya bahwa sejak usia bayi 6 bulan dalam kandungan telah memiliki hak hukum, contoh aborsi. Karakter alamiah hukum yaitu selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan perkembangan pandangan masyarakat tentang nilai kehidupan pada waktu dan tempat tertentu.

Perubahan pandangan masyarakat tentang keadilan dalam dua sistem hukum berbeda. Dalam sistem Civil Law yang dianut sistem hukum Belanda khususnya hukum pidana menganut paham bahwa hukum (baca: undang-undang) merupakan sumber dan sekaligus jaminan bahwa, setiap individu hanya dilindungi oleh undang-undang (hukum tertulis) dan fungsi undang-undang adalah juga untuk membatasi kekuasaan agar tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Di dalam sistem hukum Common Law, di negara Inggris dan negeri bekas jajahannya, putusan pengadilan (yurisprudensi) merupakan sumber hukum, kebiasaan dalam masyarakat yang dalam menjadi putusan pengadilan. Namun dihubungkan dengan kekuasaan khususnya di dalam sistem hukum indonesia terutama dalam hukum pidana, tampak perbedaan mendasar. Dalam keadaan sistem demokrasi modern, kekuasaan yang dijalankan tampak belum dewasa terutama baik dari aparatur hukumnya maupun pemegang kekuasaan/politikus. Pemeo yang berkembang dalam masyarakat, seperti "semua bisa diatur", "jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah", dan "tahu sama tahu (TST), menunjukkan ketidakdewasaan cara berpikir dalam turut menciptakan "good governance".

Kebiasaan sedemikian bukan karena tidak ada undang- undang yang melarang akan tetapi tidak adanya rasa tanggung jawab sosial dalam perilaku birokrasi pada umumnya, dan khusus pada oknum aparat penegak hukum kebiasaan yang tidak terpuji ini bertahan lama dan selalu terjadi pada setiap pergantian pemerintahan sejak Orde Baru sampai saat ini. Pemerintah Joko Widodo telah berupaya dengan mengubah sistem pelayanan publik dari sistem tatap muka kepada sistem satu pelayanan terpadu berdasarkan digitalisasi (online single system/OSS). Sistem ini sudah diwujudkan melalui pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Nomor 2 Tahun 2022) meliputi hampir seluruh sektor pelayanan publik di setiap Kementerian/Lembaga.

Apakah kemudian sistem OSS ini efektif mencegah KKN, gratifikasi, dan suap sangat tergantung dari sistem sanksi "reward and punishment" (R&P) apakah diwujudkan secara konsisten dan berkesinambungan terhadap siapa pun pelakunya. Kebiasaan buruk yang dikelola bersama-sama tanpa dihentikan dengan sistem R&P hanya akan membiarkan embrio KKN, gratifikasi, dan suap tumbuh subur layaknya tempat persemaian, sebagaimana jargon tegakkan hukum sekalipun langit akan runtuh jika setiap individu birokrasi dan aparatur penegak hukum menyukai kebiasaan buruk itu tanpa koreksi dari atasan masing-masing terjadi sampai saat ini.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0726 seconds (0.1#10.140)