Rohingya Butuh Otonomi, Bukan Repatriasi

Rabu, 21 Februari 2018 - 07:51 WIB
Rohingya Butuh Otonomi, Bukan Repatriasi
Rohingya Butuh Otonomi, Bukan Repatriasi
A A A
DHAKA - Repatriasi warga Rohingya kembali ke Myanmar bukan solusi. Mereka lebih membutuhkan otonomi di wilayah Rakhine. Namun, Pemerintah Bangladesh dan Myanmar telah menyepakati repatriasi. Apalagi, upaya tersebut tidak melibatkan pihak lain, seperti Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan Pengungsi (UNHCR), atau lembaga lainnya.

Warga Rohingya juga tidak diajak berbicara mengenai pembahasan kesepakatan tersebut."Apa yang dibutuhkan Rohingya adalah ketika sejumlah pemimpin dunia menyerukan konferensi untuk menciptakan wilayah otonomi untuk Rohingya," kata Maung Zarni, aktivis pro-Rohingya.

Dia mengungkapkan, wilayah otonomi tersebut memberikan jaminan bagi warga Rohingya untuk mendapatkan kesepakatan. "Nantinya, wilayah otonomi itu dilindungi PBB dan Pemerintah Bangladesh dan negara lainnya," paparnya dilansir Al Jazeera.

Sebenarnya otonomi bukan hanya solusi bagi konflik Rohingya. Tetapi, permasalahan pemberontakan di wilayah Myanmar lainnya juga bisa diselesaikan dengan pemberian otonomi.

Apalagi, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mengumumkan perdamaian sebagai solusi untuk pemerintahan sipil dengan memberikan otonomi. Sayangnya, janji Suu Kyi itu hanya sekadar solusi saja.

Dulu, Jenderal Aung San, pahlawan kemerdekaan dan ayahanda Suu Kyi, pernah menjanjikan otonomi kepada etnik besar, termasuk Rohingya, jika Myanmar mampu merdeka dari Inggris pada 1948. Tapi, Suu Kyi melupakan janji ayahnya.

"Suu Kyi seperti tidak tahu dengan realitas yang ada di lapangan dalam proses perdamaian," kata analis politik David Mathieson, dilansir New Indian Express.

Menurut dia, langkah Suu Kyi terhambat sikap militer yang masih menguasai sendi-sendi Myanmar.

Otonomi memang solusi tepat bagi warga Rohingya ditegaskan oleh Tun Kin, aktivis Rohingya dan pemimpin Organisasi Rohingya Myanmar di Inggris. “Saat ini bukan waktunya untuk berbicara mengenai repatriasi,” ungkapnya.

Bangladesh-Myanmar Matangkan Repatriasi
Perwakilan dari pejabat Bangladesh dan Myanmar kemarin bertemu membahas repatriasi lebih dari 6.500 warga Rohingya yang terjebak di tanah tidak bertuan di antara kedua negara.

“Itu tentang bagaimana membawa pengungsi ke Myanmar,” ungkap Komisioner Repatriasi Pengungsi Bangladesh Mohammad Abdul Kalam kepada Reuters.

“Mereka berada di garis nol dan sesungguhnya mereka berada di wilayah Myanmar,” ujarnya. Pertemuan itu dilaksanakan di wilayah di dekat garis nol yang disebut dengan Gundum.

Kalam menjelaskan kalau tidak ada rentetan waktu untuk pelaksanaan repatriasi. Dia menegaskan warga Rohingya yang mengikuti repatriasi tanpa paksaan. Dia juga menjamin kalau Myanmar harus menyediakan lingkungan yang aman untuk warga Rohingya untuk kembali. “Kita tidak mengirimkan mereka secara paksa,” kata Kalam.

Juru bicara Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) urusan pengungsi (UNHCR) mengungkapkan mereka tidak dilibatkan dalam perundingan tersebut. UNHCR memberikan perhatian kepada pengungsi Rohingya yang mungkin dipaksa kembali ke Myanmar tanpa pertimbangan keamanan dan keselamatan mereka.

“Kita memberikan perhatian penuh terhadap laporan tentang tekanan terhadap warga Rohingya di perbataan,” ujar Pejabat Informasi Publik UNHCR Caroline Gluck di Cox's Bazar.

“Orang yang melarikan diri dari kekerasan dan diskriminasi di Myanmar seharusnya tidak boleh dipaksa kembali ke negara asalnya,” paparnya kepada Reuters.

Gluck mengungkapkan UNHCR menyerukan kedua pemerintahan baik Bangladesh dan Myanmar untuk menjamin martabat dan keamanan warga rohingya.

Hampir 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine di Myanmar ke wilayah Bangladesh sejak Agustus lalu. Mereka ingin menyelamatkan diri dari amukan dan pembunuhan massal yang dilakukan tentara Myanmar. PBB juga menyebut insiden tersebut sebagai pembersihan etnis.

Mayoritas pengungsi Rohingya mendirikan kamp di Cox’s Bazar di selatan Bangladesh. Tetapi, ribuan orang bertahan di zona penyangga di perbatasan. Pasukan keamanan Bangladesh juga tidak mengizinkan warga Rohingya itu masuk ke perbatasan. Banyak warga juga menolak masuk ke Bangladesh karena mereka tidak ingin menjadi pengungsi.

Pemimpin kelompok Rohingya di zona penyangga, Dil Mohammed, mengungkapkan pihaknya membutuhkan jaminan keamanan hak dasar, termasuk kewarganegaraan. “Kita juga belum menerima kartu verifikasi sebagai syarat untuk kembali ke rumah dan mendapatkan kompensasi atas kerugian, serta jaminan perlindungan dari misi PBB,” katanya. (Andika Hendra)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3941 seconds (0.1#10.140)