BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas

Rabu, 14 Februari 2018 - 09:13 WIB
BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas
BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas
A A A
JAKARTA - Krisis gizi dan campak yang diderita anak-anak Asmat, Papua, diulas media Inggris, BBC, dengan judul yang ironis “Anak-anak Provinsi Papua Indonesia Kelaparan di Tanah Emas”.

Laporan yang sarat kritik ini diawali dengan deskripsi krisis campak dan malnutrisi yang ditulis BBC telah menewaskan setidaknya 72 orang, kebanyakan anak-anak, di provinsi terpencil di Papua, Indonesia yang merupakan rumah bagi tambang emas terbesar di dunia.

Laporan sekilas wartawan Rebecca Henschke dan Hedyer Affan tentang akses Papua yang tertutup bagi wartawan selama beberapa dekade juga disinggung.

Rebbeca adalah wartawan media tersebut yang “diusir” dari Papua setelah men-tweet-kan bantuan TNI untuk anak-anak Asmat yang dianggap menyinggung perasaan korps militer Indonesia tersebut. Rebecca beberapa waktu lalu menuliskan bantuan untuk anak-anak Asmat yang hanya berwujud paket biskuit dan mie instan.

Dalam laporan berjudul “Indonesia's Papua province children starving in a land of gold”, kantor berita Inggris ini menceritakan bayi berumur dua bulan bernama Yulita Atap yang disebut kondisi kehidupannya “sangat brutal”. Ibunya meninggal saat melahirkan. Ayahnya menyerahkannya untuk mati.

”Di dalam awan kesedihan dia ingin memukulnya, menguburnya dengan ibunya,” kata pamannya, Ruben Atap.

”Saya bilang, jangan lakukan itu, Tuhan akan marah, dia menjadi tenang dan bersyukur karena kami ingin menjaganya, tapi sekarang kami berjuang untuk membuatnya tetap hidup.”

Dia terbaring lemas di tempat tidur di satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Asmat, sebuah daerah hutan tertutup seukuran Belgia. Rusuk Yulita menonjol, hampir menembus kulit. Perutnya membuncit.

Pamannya terus menatap tubuhnya yang mungil.

Krisis Gizi
BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas
Foto/BBC
Keluarga Yulita Atap melakukan perjalanan selama dua hari untuk mencapai rumah sakit tersebut. Petugas kesehatan pemerintah membantunya melakukan perjalanan dua hari dengan speedboat ke sungai untuk sampai ke rumah sakit. Sungai-sungai adalah jalan raya, merayap seperti ular melalui hutan lebat.

Di ranjang rumah sakit berikutnya adalah keluarga Ofnea Yohanna. Tiga dari anak-anaknya, yang berusia empat, tiga dan dua tahun, sangat kekurangan gizi.

Dia menikah saat baru berusia 12 tahun. Ketika masih berusia 20-an tahun, dia memiliki enam anak.

”Kami makan saat ada makanan, padahal tidak ada, kami tidak punya kapal saat ini untuk memancing,” katanya.

Ketika orang-orang di sekitar berbicara, putrinya menatap kosong ke kejauhan, matanya seperti berongga. Dia mengambil sebungkus biskuit manis, setumpuk nasi putih di atas kertas cokelat, diletakkan di sampingnya.

Secara tradisional, suku Asmat telah hidup dengan sagu yang diekstrak dari kepalan tangan, dan ikan dari sungai dan laut.

”Asmat adalah, tempat yang tepat. Segala sesuatu yang mungkin Anda perlukan ada di sini," tulis Carl Hoffman pada buku tahun 2014 tentang hilangnya sosialita New York, Michael Rockefeller, di Asmat pada tahun 1960-an dan diduga telah meninggal.

”Ini penuh dengan udang dan kepiting, ikan, kerang dan sagu, yang empunya dapat menumbuk menjadi pati putih dan menjadi habitat larva kumbang Capricorn, keduanya merupakan sumber nutrisi utama,” lanjut tulisan Hoffman.

Michael Rockefeller, anak gubernur New York dan salah satu keluarga terkaya di Amerika, keliling dunia menuju Asmat untuk mengumpulkan seni yang rumit dan mengesankan dari suku tersebut, termasuk ukiran kayu raksasa yang bergaya.

Tambang Emas Terbesar di Dunia
BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas
Foto/Istimewa
Seni orang Asmat ditemukan di museum-museum papan atas di seluruh dunia dan sangat berharga bagi para kolektor.

Foto-foto hitam putih Rockefeller dari perjalanannya untuk mengunjungi orang-orang Asmat, momen tentang kanibal dan pemburu kepala, membuat kagum dunia Barat.

Suku Asmat semi-nomaden biasa menghabiskan waktu berbulan-bulan di hutan untuk membuat sagu dan menemukan cukup makanan untuk dijalani.

Perubahan budaya mulai terjadi pada tahun 1950-an dengan kedatangan misionaris Kristen, dan dalam beberapa tahun terakhir makanan telah berubah secara dramatis seiring dengan meningkatnya jumlah migran dari pulau-pulau Indonesia lainnya yang datang ke wilayah itu.

Kota terdekat Timika, yang jauhnya satu jam penerbangan, berfungsi sebagai pusat tambang Freeport milik Amerika Serikat, tambang emas terbesar di dunia.

Timika memiliki salah satu pertumbuhan penduduk tercepat di Indonesia.

"Orang semakin membeli makanan impor dan karena di beberapa wilayah hutan telah masuk, mereka harus melangkah lebih jauh untuk mendapatkan sagu,” kata peneliti kesehatan setempat, Willem Bobi.

”Jadi sekarang yang paling cepat adalah membeli makanan olahan instan; uang pemerintah masuk dan membuat orang-orang kita bergantung.”

Willem Bobi yang seorang penduduk asli Papua melakukan perjalanan melintasi daerah yang tertutup hutan dan menggambarkan situasi kesehatan yang mengerikan dalam sebuah buku berjudul “The Asmat Medicine Man” yang diterbitkan tahun lalu.

”Saya tahu sebuah krisis seperti ini akan terjadi, saya melihat ada kekurangan air bersih dan kurangnya fasilitas kesehatan. Saya melihat klinik kesehatan dimana satu-satunya dokter cuti selama berbulan-bulan tapi masih dibayar upah,” katanya.

”Krisis yang kita lihat sekarang telah terjadi berkali-kali sebelumnya, tapi belum pernah seburuk sekarang," katanya. "Itu terjadi karena pihak berwenang kesehatan belum menangani hal ini secara cukup serius.”

Penanganan Jokowi
BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas
Foto/SINDOphoto
Saat berita menyebar tentang wabah campak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan tim medis dan militer untuk membawa pasokan bantuan ke desa-desa terpencil.

Pekerja kesehatan dan paramedis memvaksinasi lebih dari 17.300 anak-anak, dan pihak berwenang sekarang mengatakan bahwa wabah campak terkendali. Pihak militer mengatakan bahwa mereka sekarang menjalankan operasi pemantauan di daerah tersebut, mencari tahu di mana masalah itu.

Namun, kepala tim medis militer mengakui bahwa tanggapan Jakarta lamban. ”Mari kita jujur, mungkin pemerintah lokal dan nasional menjadi sadar akan [penanganan wabah] ini terlambat,” kata Asep Setia Gunawan, kepala petugas medis militer, kepada AFP.

Papua telah menjadi wilayah yang sensitif sejak menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1960-an menyusul apa yang oleh beberapa sejarawan dianggap sebagai pengawasan suara PBB yang tidak aman. Hanya 1.063 orang yang dipilih untuk memilih.

Provinsi ini kaya sumber daya alam, merupakan rumah bagi tambang emas terbesar di dunia, yang merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Pemerintah mengatakan Papua adalah bagian integral dari Indonesia dan ini telah diakui oleh PBB. Namun, gerakan separatis tingkat rendah terus berupaya untuk mencari kemerdekaan yang berlanjut sampai hari ini.

Militer telah dituduh oleh kelompok hak asasi manusia melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam upayanya untuk menekan pembangkangan. Sampai saat ini wartawan asing tidak diizinkan untuk melapor di sana.

BBC mengatakan, wartawannya harus mendapatkan izin khusus dari polisi untuk bepergian ke sana. Ada kerusuhan saat wartawan media itu berkunjung; seorang wanita ditembak mati. Saat itu, polisi mengatakan bahwa dia berada di antara penduduk desa yang mencoba menolong pria yang lolos dari penangkapan.

Pria itu dituduh menjual konsentrat bijih, yang diduga dia ambil dari dermaga kargo perusahaan pertambangan AS, Freeport-McMoRan. Keluarga wanita tersebut mengatakan bahwa dia adalah seorang yang tidak bersalah. Dan sekarang polisi melakukan penyelidikan internal.

Komisinoer Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad Al Hussein, dalam sebuah kunjungan minggu lalu ke Indonesia, mengatakan bahwa dia prihatin tentang meningkatnya laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan, pelecehan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang di Papua.

Dia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengundang PBB untuk mengirim sebuah misi ke provinsi ini, sesuatu akan segera dilakukan.

Problem Dana Papua
BBC Sebut Anak-anak Papua Kelaparan di Tanah Emas
Foto/SINDOnews/Victor Maulana
Dalam upaya untuk mengurangi ketegangan, Papua diberi otonomi yang lebih besar pada tahun 2001 , dan telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam alokasi dana pemerintah untuk wilayah tersebut, dengan Jakarta berjanji untuk membawa kemakmuran bagi masyarakat Papua.

Tapi, Ruben Atap, seperti banyak orang Papua yang ditemui wartawan media Inggris itu, menunjukkan bahwa gelombang uang tunai hanya menguntungkan beberapa orang terpilih. “Pemimpin lokal kami mengambil uang itu dan menggunakannya untuk mereka sendiri, mereka tidak memikirkan orang-orangnya dan mengisi perut mereka sendiri,” kata Ruben.

Di saat masalah ini terungkap, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa dana otonomi khusus untuk provinsi tersebut akan dievaluasi ulang untuk memastikannya digunakan untuk pembangunan.

"Ini adalah pelajaran bagi kita, karena selama ini dana otonomi khusus telah dicairkan sebagai dana hibah kepada pemerintah provinsi—walaupun otonomi khusus memiliki tujuan khusus,” katanya pekan lalu.

Bupati Asmat, Elisa Kambu, mengatakan bahwa masalah tersebut memiliki isu yang lebih luas. Dia mengatakan bahwa masyarakat di Jakarta "hanya bicara tentang uang, banyak uang datang ke Papua; uang saja tidak bisa menyelesaikan masalah ini.”

“Asmat adalah panggilan bagi kita semua untuk bangun,” kata penasihat presiden, Yanuar Nugrohp. Dia mengatakan sejumlah daerah lain di Papua dapat menghadapi krisis kesehatan yang sama dan Asmat hanya puncak gunung es. ”Masalahnya terletak pada pemerintah daerah,” katanya.

Willem Bobi, peneliti kesehatan setempat berpendapat, solusinya mungkin ada di pemerintahan yang kurang. ”Mungkin saat itu tidak mudah mendapatkan uang lagi dan orang akan kembali ke cara alami untuk mencari makanan,” katanya, tertawa.

”Tapi tentu saja itu akan sangat sulit, karena sekarang lebih mudah untuk membeli makanan instan.”

Seruan Pindah ke Kota


Sebuah proposal dari Presiden Joko Widodo disampaikan untuk memindahkan orang-orang Asmat yang tersebar di seluruh hutan ke sebuah kota, sehingga mereka bisa mendekati layanan medis. Tapi, seruan presiden itu ditolak oleh pemimpin setempat.

”Memindahkan orang tidak semudah itu, karena kita memiliki budaya, adat istiadat, hak atas tanah dan koneksi ke darat,” kata Bupati Elisa Kambu.

Presiden Joko Widodo telah mengunjungi Papua lebih dari enam kali sejak pemilihan presiden pada tahun 2014. Dia bekerja keras menunjukkan komitmen Jakarta untuk membangun provinsi tersebut dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur.

Setelah krisis di Asmat, pemerintah telah berjanji untuk berinvestasi lebih banyak di fasilitas kesehatan di daerah terpencil dan juga sekolah. Ruben Atap mengatakan bahwa dia berharap suatu hari keponakan mungilnya akan pergi ke sekolah.

”Apa yang Anda harapkan untuk dia lakukan setelah itu?,” tanya wartawan BBC. Dia tertawa gugup, "Saya tidak tahu seperti apa masa depannya, kita hanya mencoba yang terbaik untuk membantunya bertahan.”
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4333 seconds (0.1#10.140)