PBB: Gaza Tidak Cocok untuk Kehidupan Manusia
loading...
A
A
A
JALUR GAZA - Perang selama sembilan pekan telah membuat Gaza tidak layak huni, menurut kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina Philippe Lazzarini pada Kamis (14/12/2023).
Ketika kelaparan merajalela dan tempat penampungan PBB penuh sesak, organisasi tersebut menuntut diakhirinya pengepungan Israel terhadap daerah kantong tersebut.
Berbicara pada konferensi pers di Jenewa, komisaris jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menggambarkan bagaimana operasi darat Israel di Gaza telah mendorong lebih dari satu juta pengungsi ke selatan menuju kota Rafah.
“Rafah adalah pusat pengungsian,” ujar Lazzarini. “Satu gudang (PBB) menjadi tempat penampungan 30.000 orang. Yang beruntung telah berhasil masuk ke dalam lokasi kami. Yang lain sama sekali tidak punya tempat tujuan. Mereka hidup di alam terbuka, di udara dingin, di lumpur, dan di bawah hujan. Ke mana pun Anda melihat, dipenuhi dengan tempat penampungan sementara. Ke mana pun Anda pergi, orang-orang putus asa, lapar, dan ketakutan.”
Pada awal kampanye pengeboman pada Oktober, Israel mendesak penduduk Kota Gaza yang terletak di utara wilayah kantong tersebut untuk bermigrasi ke selatan demi keselamatan mereka sendiri.
Mereka yang menuruti perintah rezim kolonial tersebut kemudian harus bergerak lebih jauh ke selatan ketika pesawat-pesawat Israel mulai membom kota Khan Younis.
Dengan pasukan darat Israel yang kini menyerbu ke kedua kota tersebut, Rafah tetap menjadi satu-satunya daerah yang relatif aman di seluruh wilayah tersebut.
“Masuknya warga ke Rafah telah meningkatkan populasi kota sebanyak empat kali lipat dan membebani sumber daya di sektor yang dulunya merupakan sektor termiskin di Gaza,” ungkap Lazzarini.
Pengepungan total yang dilakukan Israel telah menyebabkan kekurangan makanan dan air.
Lembaga-lembaga kemanusiaan mengeluh konvoi truk bantuan yang diizinkan melewati penyeberangan Mesir-Rafah tidak dapat memenuhi kebutuhan jutaan orang.
“Selama beberapa pekan terakhir kami bertemu dengan semakin banyak orang yang belum makan dalam satu, dua, atau tiga hari,” ujar Lazzarini.
Dia menggambarkan bagaimana truk yang membawa makanan seringkali tidak dapat sampai ke tempat penampungan dan titik distribusi PBB. “Orang-orang menghentikan truk bantuan, mengambil makanan, dan langsung memakannya,” papar dia.
“Setiap kali saya kembali (ke Gaza), saya selalu berpikir keadaannya tidak akan bertambah buruk lagi, namun setiap kali saya melihat lebih banyak kesengsaraan, lebih banyak duka, lebih banyak kesedihan, dan saya merasa bahwa Gaza bukanlah tempat yang layak untuk dihuni lagi,” ungkap pejabat PBB itu kepada wartawan.
Pejuang Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 240 orang. Serangan Hamas dilakukan setelah Israel membunuh dan menangkap ribuan warga Palestina di Tepi Barat, serta menyerbut Masjid Al Aqsa.
Dalam sembilan pekan sejak itu, serangan Israel telah menewaskan 18.787 orang di Gaza dan melukai lebih dari 50.000 orang, menurut angka yang dirilis pada Kamis oleh Kementerian Kesehatan Gaza.
Sekitar 135 staf UNRWA telah terbunuh oleh Israel. Serangan rezim kolonial Israel terhadap sekolah, klinik, dan kantor badan tersebut telah menewaskan 270 orang dan melukai lebih dari 1.000 orang, menurut Lazzarini pada Kamis.
Menurut laporan PBB yang dirilis pada Selasa, hampir seperlima bangunan di Gaza telah rusak atau hancur selama kampanye Israel.
“Apa yang terjadi di Gaza seharusnya membuat marah siapa pun,” ungkap Lazzarini.
Dia menegaskan, “Hanya pencabutan blokade Israel yang diikuti dengan aliran komoditas tanpa henti dan tanpa syarat ke Jalur Gaza akan membalikkan situasi kemanusiaan yang menurun.”
Ketika kelaparan merajalela dan tempat penampungan PBB penuh sesak, organisasi tersebut menuntut diakhirinya pengepungan Israel terhadap daerah kantong tersebut.
Berbicara pada konferensi pers di Jenewa, komisaris jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menggambarkan bagaimana operasi darat Israel di Gaza telah mendorong lebih dari satu juta pengungsi ke selatan menuju kota Rafah.
“Rafah adalah pusat pengungsian,” ujar Lazzarini. “Satu gudang (PBB) menjadi tempat penampungan 30.000 orang. Yang beruntung telah berhasil masuk ke dalam lokasi kami. Yang lain sama sekali tidak punya tempat tujuan. Mereka hidup di alam terbuka, di udara dingin, di lumpur, dan di bawah hujan. Ke mana pun Anda melihat, dipenuhi dengan tempat penampungan sementara. Ke mana pun Anda pergi, orang-orang putus asa, lapar, dan ketakutan.”
Pada awal kampanye pengeboman pada Oktober, Israel mendesak penduduk Kota Gaza yang terletak di utara wilayah kantong tersebut untuk bermigrasi ke selatan demi keselamatan mereka sendiri.
Mereka yang menuruti perintah rezim kolonial tersebut kemudian harus bergerak lebih jauh ke selatan ketika pesawat-pesawat Israel mulai membom kota Khan Younis.
Dengan pasukan darat Israel yang kini menyerbu ke kedua kota tersebut, Rafah tetap menjadi satu-satunya daerah yang relatif aman di seluruh wilayah tersebut.
“Masuknya warga ke Rafah telah meningkatkan populasi kota sebanyak empat kali lipat dan membebani sumber daya di sektor yang dulunya merupakan sektor termiskin di Gaza,” ungkap Lazzarini.
Pengepungan total yang dilakukan Israel telah menyebabkan kekurangan makanan dan air.
Lembaga-lembaga kemanusiaan mengeluh konvoi truk bantuan yang diizinkan melewati penyeberangan Mesir-Rafah tidak dapat memenuhi kebutuhan jutaan orang.
“Selama beberapa pekan terakhir kami bertemu dengan semakin banyak orang yang belum makan dalam satu, dua, atau tiga hari,” ujar Lazzarini.
Dia menggambarkan bagaimana truk yang membawa makanan seringkali tidak dapat sampai ke tempat penampungan dan titik distribusi PBB. “Orang-orang menghentikan truk bantuan, mengambil makanan, dan langsung memakannya,” papar dia.
“Setiap kali saya kembali (ke Gaza), saya selalu berpikir keadaannya tidak akan bertambah buruk lagi, namun setiap kali saya melihat lebih banyak kesengsaraan, lebih banyak duka, lebih banyak kesedihan, dan saya merasa bahwa Gaza bukanlah tempat yang layak untuk dihuni lagi,” ungkap pejabat PBB itu kepada wartawan.
Pejuang Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 240 orang. Serangan Hamas dilakukan setelah Israel membunuh dan menangkap ribuan warga Palestina di Tepi Barat, serta menyerbut Masjid Al Aqsa.
Dalam sembilan pekan sejak itu, serangan Israel telah menewaskan 18.787 orang di Gaza dan melukai lebih dari 50.000 orang, menurut angka yang dirilis pada Kamis oleh Kementerian Kesehatan Gaza.
Sekitar 135 staf UNRWA telah terbunuh oleh Israel. Serangan rezim kolonial Israel terhadap sekolah, klinik, dan kantor badan tersebut telah menewaskan 270 orang dan melukai lebih dari 1.000 orang, menurut Lazzarini pada Kamis.
Menurut laporan PBB yang dirilis pada Selasa, hampir seperlima bangunan di Gaza telah rusak atau hancur selama kampanye Israel.
“Apa yang terjadi di Gaza seharusnya membuat marah siapa pun,” ungkap Lazzarini.
Dia menegaskan, “Hanya pencabutan blokade Israel yang diikuti dengan aliran komoditas tanpa henti dan tanpa syarat ke Jalur Gaza akan membalikkan situasi kemanusiaan yang menurun.”
(sya)