Cerita Ayu, WNI Alumni Kampus AS: Salat Jumat di Bangunan Katedral

Selasa, 07 November 2017 - 14:51 WIB
Cerita Ayu, WNI Alumni Kampus AS: Salat Jumat di Bangunan Katedral
Cerita Ayu, WNI Alumni Kampus AS: Salat Jumat di Bangunan Katedral
A A A
JAKARTA - Ayu Kartika Dewi, warga Indonesia alumni beasiswa Fullbright menceritakan pengalamannya selama kuliah di Amerika Serikat (AS). Dia sempat takut dengan stigma negatif AS terhadap Islam, namun hal itu tak terbukti.

Perempuan berjilbab ini kuliah di Universitas Duke yang berlokasi di North Carolina. Dia mendapatkan beasiswa Fullbright pada tahun 2015 dan menempuh studi dua tahun untuk meraih gelar Master.

Saat diskusi yang digelar Indonesia American Exchange Foundation (AMINEF), Ayu mengatakan bahwa dia tidak pernah mendapatkan perlakukan rasial dari teman-teman kuliahnya, atau dari warga sekitar tempat dia tinggal.

”Saya tidak merasakan pengalaman (rasial) apapun, saya hanya merasakan sikap menerima dari mereka,” katanya, Selasa (7/11/2017).

Tahun lalu, ada tiga warga Muslim AS yang ditembak, yang ternyata lokasinya tak jauh dari tempat dia tinggal. Perempuan salah satu pendiri “SabangMerauke”—organisasi nirlaba untuk pengembangan perdamaian dan keharmonisan itu—mengaku awalnya merasa takut dengan berita penembakan itu.

Namun, pendekatan dari warga setempat dan teman-teman dekatnya membuat dia merasa aman.

”Mereka bertanya kepada saya, apakah saya takut, dan bantuan apa yang mereka bisa berikan kepada saya. Hal ini benar-benar membuat saya terharu,” ujarnya.

Dia juga berbagi cerita suasana kampus, di mana toleransi terjalin dengan baik. Ayu mengaku memiliki seorang sahabat yang beragama Katolik, dan dia sering ke Katedral untuk mengantar temannya beribadah. ”Untuk ibadah salat Jumat, Katedral di kampus dijadikan masjid, karena di sana tidak ada masjid,” katanya.

Terkait keputusanya untuk tetap berjilbab selama kuliah di AS, Ayu merasa busananya menguntungkan dirinya. ”Saya secara langsung menjadi duta bagi Islam, dan dapat menjelaskan mengenai Islam yang sebenarnya, bahwa kami (Muslim) tidak berbeda dengan orang lain, dan memiliki ketakutan yang sama mengenai teroris,” katanya.

Beasiswa Fullbright pertama muncul pada tahun 1946 dengan mengambil nama dari orang yang mengusulkan beasiswa tersebut, yakni mendiang Senator J. William Fullbright. Beasiswa ini diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1952, dan salah satu penerima pertamanya adalah H. Agus Salim.

AMINEF selaku pengelola Fullbright di Indonesia mengirimkan setidaknya 80 pelajar Indonesia untuk kuliah di AS. Direktur AMINEF, Alan H.Feinsten, menuturkan saat ini ada 76 pelajar Indonesia yang kuliah di AS dengan beasiswa Fullbright.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7809 seconds (0.1#10.140)