Pengungsi Rohingya Capai Sejuta Jiwa, Bangladesh Kewalahan

Selasa, 24 Oktober 2017 - 15:07 WIB
Pengungsi Rohingya Capai Sejuta Jiwa, Bangladesh Kewalahan
Pengungsi Rohingya Capai Sejuta Jiwa, Bangladesh Kewalahan
A A A
JENEWA - Hampir sejuta pengungsi Rohingya telah berada di Bangladesh setelah meninggalkan kekerasan di Myanmar. Bangladesh merasa kewalahan dengan situasi tersebut.

Duta Besar (Dubes) Bangladesh di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Shameem Ahsan pun mendesak Myanmar agar menerima kembali para pengungsi tersebut. Bangladesh menegaskan, pihaknya sudah mengalami situasi yang tak bisa dipertahankan karena setiap hari ribuan pengungsi terus memasuki negara tersebut.

"Ini eksodus terbesar dari satu negara sejak genosida Rwanda pada 1994. Meski ada klaim yang bertentangan, kekerasan di negara bagian Rakhine tidak berhenti. Ribuan orang masih masuk setiap hari," ungkap Ahsan saat konferensi PBB di Jenewa, Senin (23/10/2017), dikutip kantor berita Reuters.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Bangladesh berada di Yangon, Senin (23/10/2017), untuk membahas solusi bagi masalah tersebut dengan Pemerintah Myanmar. "Meski demikian, Myanmar terus menyebut Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Ini penyangkalan mencolok atas identitas etnik Rohingya yang masih jadi batu sandungan," kata Ahsan.

Myanmar menganggap Rohingya tak memiliki kewarganegaraan, meski keluarga mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi. PBB telah mengajukan dana USD434 juta untuk bantuan bagi 1,2 juta orang selama enam bulan. "Kita perlu lebih banyak dana untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang meningkat. Ini bukan krisis terisolasi, ini gelombang terbaru dari beberapa dekade siklus penganiayaan, kekerasan dan pengusiran," kata Kepala Badan Kemanusiaan PBB Mark Lowcock dalam pertemuan itu.

Dia menambahkan, "Anak-anak, perempuan dan pria yang melarikan diri dari Myanmar menuju Bangladesh itu mengalami trauma dan miskin. Kami menilai memiliki janji sekitar USD340 juta," kata Lowcock.

Janji baru termasuk 30 juta euro yang diumumkan Uni Eropa (UE), USD15 juta oleh Kuwait, 10 juta dolar Australia oleh Australia, dan 12 juta poundsterling oleh Inggris. Dia kembali menegaskan seruan PBB terhadap Myanmar agar mengizinkan akses kemanusiaan penuh di penjuru Rakhine. Hingga saat ini akses ke sana tertutup bagi berbagai badan bantuan.

"Myanmar harus menjamin hak untuk kembali dengan aman, sukarela, dan bermartabat sehingga Rohingya bisa hidup damai dengan hak asasi manusia (HAM) mereka di Rakhine," ujar Lowcock.

Menurut pejabat Myanmar, Rohingya yang kembali ke Myanmar dari Bangladesh tampaknya tidak bisa mengklaim kembali tanah mereka dan tanaman mereka di sawah mungkin telah dipanen serta dijual Pemerintah Myanmar. Kantor berita Reuters telah mewawancarai enam pejabat Myanmar yang terlibat dalam rencana repatriasi dan permukiman kembali Rohingya. Meski rencana mereka belum selesai disusun, tapi komentar mereka mencerminkan pemikiran Pemerintah Myanmar tentang bagaimana janji repatriasi Rohingya oleh pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi itu diterapkan.

Jamil Ahmed yang tinggal di kamp pengungsian di Bangladesh merupakan salah satu Rohingya yang ingin kembali ke Myanmar. Dia menjelaskan, beberapa barang yang dia bawa saat mengungsi adalah tumpukan kertas berupa kontrak tanah dan nota yang mungkin bisa membuktikan kepemilikan sawah dan tanaman pertanian yang dia tinggalkan.

"Saya tidak membawa perhiasan apapun. Saya hanya membawa dokumen ini. Di Myanmar, Anda harus menunjukkan dokumen untuk membuktikan apapun," ujarnya.

Tumpukan kertas berwarna coklat dan robek di pinggir itu mungkin tidak cukup mengklaim kembali tanah di Desa Kyauk Pan Du tempat dia menanam kentang, cabai, almond, dan beras. "Ini tergantung mereka. Tidak ada kepemilikan tanah bagi mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan," ujar Kyaw Lwin, menteri pertanian di Rakhine saat ditanya apakah pengungsi yang kembali ke Myanmar dapat mengklaim kembali tanah dan tanamannya.

Meskipun memiliki tanah, Myanmar tidak mengakui Ahmed sebagai warga negara. Lebih dari sejuta Rohingya yang tinggal di Myanmar sebelum gelombang pengungsian itu tidak memiliki kewarganegaraan. Para pejabat Myanmar kini berencana memanen dan kemungkinan menjual ribuan hektare lahan yang ditinggalkan Rohingya, menurut dokumen yang diperoleh Reuters.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3781 seconds (0.1#10.140)