Meski Diam Rohingya Ditindas, Nobel Suu Kyi Tak Bisa Dicabut

Sabtu, 09 September 2017 - 00:21 WIB
Meski Diam Rohingya Ditindas, Nobel Suu Kyi Tak Bisa Dicabut
Meski Diam Rohingya Ditindas, Nobel Suu Kyi Tak Bisa Dicabut
A A A
OSLO - Organisasi yang mengawasi Hadiah Nobel Perdamaian menyatakan bahwa Hadiah Nobel Perdamaian 1991 yang diberikan kepada Aung Sang Suu Kyi dari Myanmar tidak dapat dicabut. Pemimpin de facto Myanmar itu menuai kecaman global karena dianggap diam melihat etnis Rohingya ditindas militer di Rakhine.

Olav Njolstad, kepala Norwegian Nobel Institute, mengatakan dalam sebuah email kepada The Associated Press hari Jumat bahwa baik pencetus penghargaan, Alfred Nobel, maupun pihak Nobel Foundation telah membuat peraturan yang tidak memungkinkan mencabut hadiah itu dari para pemenangnya.

”Tidak mungkin melepas seorang peraih Nobel Perdamaian untuk penghargaannya yang pernah diberikan kepadanya,” tulis Njolstad. ”Tidak ada komite pemberian hadiah di Stockholm dan Oslo yang pernah mempertimbangkan untuk mencabut hadiah setelah mendapat penghargaan,” lanjut dia, yang dikutip Sabtu (9/9/2017).

Sebelumnya, sebuah petisi online yang ditandatangani oleh lebih dari 386.000 orang di situs Change.org menyerukan agar Hadiah Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi dicabut karena dia tidak berbuat banyak untuk menghentikan penganiayaan terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.

Suu Kyi menerima penghargaan itu atas perjuangan tanpa kekerasannya untuk demokrasi dan hak asasi manusia sambil melawan junta militer.

Dia menjadi pemimpin de facto di negara tersebut setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang telak dalam pemilu yang bebas di Myanmar tahun 2015. Partai pimpinan Suu Kyi mengalahkan kubu junta militer.

Pada hari Kamis, mantan uskup agung Afrika Selatan Desmond Tutu mendesak Suu Kyi untuk campur tangan guna melindungi minoritas Muslim Rohingya.

Dalam sebuah surat terbuka, Tutu mengatakan kepada rekannya yang sama-sama pernah meraih nobel serupa, bahwa tidak sesuai dengan simbol kebenaran bagi pemimpin sebuah negara di mana kekerasan terhadap etnis Rohingya sedang dibiarkan.

Ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk mengindari kekerasan brutal militer. Kekerasan terbaru di Rakhine terjadi setelah kelompok gerilyawan Rohingya menyerang pos-pos polisi yang menewaskan sekitar 12 petugas pada 25 Agustus lalu. Militer mengakui membunuh lebih dari 300 orang yang mereka klaim anggota gerilyawan Rohingya.

Namun, para aktivis dengan laporan kredibel menyebut sekitar 135 warga sipil Rohingya di satu desa dibantai militer.

Suu Kyi telah menolak krisis Rohingya sebagai kampanye yang salah informasi. Dia mengklaim telah berusaha melindungi setiap warga di negaranya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5280 seconds (0.1#10.140)