Pertarungan Setengah Hati di Laut China Selatan
loading...
A
A
A
BEIJING - Sejak 2012, China telah membangun dua puluh pulau di Laut China Selatan (LCS). Kehadiran China di LCS pun telah mengkhawatirkan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Asia Tenggara.
Saat ini China bisa dikatakan bisa menguasai seluruh LCS. Apalagi, Beijing menggunakan pendekatan kampanye pembangunan pulau dan penggunaan kapal nonperang. Strategi cerdik itu menunjukkan Beijing paham mereka tidak ingin konfrontasi militer, mereka hanya ingin unjuk kekuatan.
Beijing telah membangun sedikitnya 20 pos pemeriksaan di Kepulauan Paracel dan 7 di Spratlys. Mereka juga sedang berekspansi membangun pos pemeriksaan di Scarborough Shoal. Baik Kepulauan Paracel, Spratlys, maupun Scarborough merupakan dua pertiga dari teritorial yang diklaim di LCS.
China beranggapan bahwa negara besar bukan hanya mereka yang berjaya di daratan. Kesadaran maritim benar-benar dibangun oleh China. Mereka berpegang teguh kalau yang menguasai maritim maka otomatis akan menguasai dunia. Kesadaran China itu setelah mereka menyadari perlu memperluas pasar untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. (Baca: Singapura Resesi, Warning Bagi Ekonomi Indonesia)
Langkah permainan AS di LCS juga terbilang sangat terlambat. Washington mengabaikan kehadiran Beijing di banyak pulau buatan, sedangkan AS hanya mengandalkan kapal perang yang berlalu lalang di LCS hanya untuk operasi kebebasan navigasi.
“Jika terjadi konflik, China biasa menguasai LCS dalam satu hari,” kata Ketua Program Asia Tenggara di Centre for Strategic and International Studies, Greg Poling, dilansir South China Morning Post. “China telah mendominasi LCS, sedangkan AS tidak. China pun sebenarnya menghindari konflik militer dengan AS,” katanya.
Imbas dari konflik LCS bukan hanya bagi negara di Asia Tenggara. Konfrontasi itu pun bisa meluas hingga Jepang dan Taiwan. Itu juga sangat disadari oleh AS dan China. Permainan konflik kedua kekuatan dunia pun mengarah pada menjadikan LCS untuk pengujian pesawat nirawak, senjata hipersonik, dan memamerkan kemampuan misil baru.
Dengan begitu, konflik LCS kerap disebut sebagai "contest of wills". Itu fokus kalau mereka tidak ingin berkompromi mengenai kedaulatan. Mengapa? Kedua negara tetap membangun jalur komunikasi di LCS.
Keduanya hanya ingin menunjukkan keinginan mereka, tetapi tidak mau meningkatkan status konfliknya. "Militer AS pun memublikasikan operasi mereka seperti kondisi normal," kata Collin Koh, pakar keamanan maritim dari Nanyang Technological University di Singapura. AS hanya ingin memperkuat komunikasi strategis untuk meraih dukungan komunitas internasional," katanya. (Baca juga: Kalah Jumlah, Mustahil Jet Tempur Siluman J-25 Kalahkan F-35 AS)
China pun tetap selalu siaga dan waspada, sedangkan AS tetap mengimbau aliansinya untuk membantu melawan China di LCS. Itu dibuktikan dengan banyak kapal perang AS dan Inggris kerap berlayar ke LCS. Konflik setengah hati pun bisa disebut untuk menggambarkan pertarungan AS dan China di LCS.
Saat ini China bisa dikatakan bisa menguasai seluruh LCS. Apalagi, Beijing menggunakan pendekatan kampanye pembangunan pulau dan penggunaan kapal nonperang. Strategi cerdik itu menunjukkan Beijing paham mereka tidak ingin konfrontasi militer, mereka hanya ingin unjuk kekuatan.
Beijing telah membangun sedikitnya 20 pos pemeriksaan di Kepulauan Paracel dan 7 di Spratlys. Mereka juga sedang berekspansi membangun pos pemeriksaan di Scarborough Shoal. Baik Kepulauan Paracel, Spratlys, maupun Scarborough merupakan dua pertiga dari teritorial yang diklaim di LCS.
China beranggapan bahwa negara besar bukan hanya mereka yang berjaya di daratan. Kesadaran maritim benar-benar dibangun oleh China. Mereka berpegang teguh kalau yang menguasai maritim maka otomatis akan menguasai dunia. Kesadaran China itu setelah mereka menyadari perlu memperluas pasar untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. (Baca: Singapura Resesi, Warning Bagi Ekonomi Indonesia)
Langkah permainan AS di LCS juga terbilang sangat terlambat. Washington mengabaikan kehadiran Beijing di banyak pulau buatan, sedangkan AS hanya mengandalkan kapal perang yang berlalu lalang di LCS hanya untuk operasi kebebasan navigasi.
“Jika terjadi konflik, China biasa menguasai LCS dalam satu hari,” kata Ketua Program Asia Tenggara di Centre for Strategic and International Studies, Greg Poling, dilansir South China Morning Post. “China telah mendominasi LCS, sedangkan AS tidak. China pun sebenarnya menghindari konflik militer dengan AS,” katanya.
Imbas dari konflik LCS bukan hanya bagi negara di Asia Tenggara. Konfrontasi itu pun bisa meluas hingga Jepang dan Taiwan. Itu juga sangat disadari oleh AS dan China. Permainan konflik kedua kekuatan dunia pun mengarah pada menjadikan LCS untuk pengujian pesawat nirawak, senjata hipersonik, dan memamerkan kemampuan misil baru.
Dengan begitu, konflik LCS kerap disebut sebagai "contest of wills". Itu fokus kalau mereka tidak ingin berkompromi mengenai kedaulatan. Mengapa? Kedua negara tetap membangun jalur komunikasi di LCS.
Keduanya hanya ingin menunjukkan keinginan mereka, tetapi tidak mau meningkatkan status konfliknya. "Militer AS pun memublikasikan operasi mereka seperti kondisi normal," kata Collin Koh, pakar keamanan maritim dari Nanyang Technological University di Singapura. AS hanya ingin memperkuat komunikasi strategis untuk meraih dukungan komunitas internasional," katanya. (Baca juga: Kalah Jumlah, Mustahil Jet Tempur Siluman J-25 Kalahkan F-35 AS)
China pun tetap selalu siaga dan waspada, sedangkan AS tetap mengimbau aliansinya untuk membantu melawan China di LCS. Itu dibuktikan dengan banyak kapal perang AS dan Inggris kerap berlayar ke LCS. Konflik setengah hati pun bisa disebut untuk menggambarkan pertarungan AS dan China di LCS.