Ilmuwan: Ada Risiko Tsunami di Dekat Ibu Kota Baru Indonesia
Kamis, 23 April 2020 - 17:06 WIB
JAKARTA - Para ilmuwan internasional telah mengidentifikasi potensi risiko tsunami di wilayah yang dekat dengan ibu kota baru Indonesia. Para peneliti memetakan bukti beberapa tanah longsor purba bawah laut di Selat Makassar antara pulau Kalimantan dan Sulawesi.
Jika hal itu terulang saat ini, itu akan menghasilkan tsunami yang mampu menggenangi Teluk Balikpapan, daerah yang dekat dengan ibu kota baru yang dipilih pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tetapi tim peneliti internasional memperingatkan agar tidak bereaksi berlebihan.
"Kami masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menilai situasi dengan tepat. Yang disampaikan, ini adalah sesuatu yang mungkin harus dimiliki oleh pemerintah Indonesia pada daftar risiko di suatu tempat—bahkan jika kita hanya berbicara tentang peristiwa 'frekuensi rendah, dampak tinggi'," kata Dr Uisdean Nicholson dari Heriot-Watt University, Inggris.
Tim peneliti Inggris-Indonesia-nya menggunakan data seismik untuk menyelidiki sedimen dan strukturnya di dasar laut Makassar. Survei tersebut mengungkapkan 19 zona berbeda di sepanjang selat tempat lumpur, pasir, dan lanau jatuh ke lereng yang lebih dalam.
Beberapa slide yang dirilis memaparkan ratusan kilometer kubik material—volume yang lebih dari kolom air mengganggu, dan menghasilkan gelombang besar di permukaan laut.
"Tanah longsor ini—atau mass transport deposits (MTD) seperti yang kita sebut—cukup mudah dikenali dalam data seismik," kata Dr Rachel Brackenridge dari Aberdeen University, penulis utama laporan yang menggambarkan penelitian tersebut.
"Mereka berbentuk lensa dan sedimen di dalamnya kacau-balau; mereka bukan lapisan datar, teratur, seperti tramline yang Anda harapkan akan ditemukan. Saya memetakan 19 peristiwa, tetapi itu dibatasi oleh resolusi data. Akan ada yang jadi lainnya, peristiwa kecil yang tidak bisa saya lihat," katanya kepada BBC, Kamis (23/4/2020).
Semua MTD berada di sisi barat saluran (3.000 m) yang dalam, yang melintasi Selat Makassar. Itu juga sebagian besar berada di sebelah selatan delta outlet untuk Sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang mengeluarkan jutaan meter kubik sedimen setiap tahun.
Tim peneliti berpikir material ini diambil oleh arus di selat dan kemudian dibuang di tempat yang lebih dangkal dari dasar laut jatuh jauh ke kedalaman.
Tumpukan sedimen curam yang dipahat dari waktu ke waktu akhirnya runtuh ke lereng, yang mungkin dipicu oleh guncangan gempa bumi setempat.
Apa yang tidak bisa dikatakan tim saat ini adalah ketika submarine landslides terjadi. Perkiraan terbaik para peneliti adalah dalam periode geologi saat ini—jadi, dalam 2,6 juta tahun terakhir.
Inti yang diekstraksi dari MTD dapat lebih membatasi usia mereka dan frekuensi kegagalan lereng—serta pembentukannya sedang dicari untuk melakukan hal ini.
Tim juga berencana untuk mengunjungi daerah pesisir Kalimantan untuk mencari bukti fisik dari tsunami purba dan untuk memodelkan jenis gelombang yang bisa mengenai garis pantai.
Ben Sapiie, dari Institut Teknologi Bandung mengatakan; "Penelitian ini memperkaya pengetahuan masyarakat geologi dan geofisika Indonesia tentang bahaya sedimentasi dan tanah longsor di Selat Makassar. Masa depan penelitian ilmu bumi menggunakan pendekatan terintegrasi, pendekatan multi-ilmiah dengan kolaborator internasional."
Profesor Dan Parsons, direktur Energy and Environment Institute di Hull University bersama kelompoknya yang mempelajari submarine landslides di seluruh dunia ikut mengomentari penelitian tersebut. "Yang menarik di sini adalah bagaimana sedimen ini sedang bekerja kembali dan menumpuk dari waktu ke waktu di Selat Makassar oleh arus laut," katanya kepada BBC.
"Sedimen ini menumpuk dan kemudian gagal ketika menjadi tidak stabil. Apa yang kemudian kuncinya adalah mengidentifikasi titik kritis, atau pemicu, yang menghasilkan kegagalan. Kami telah melakukan pekerjaan serupa di fjord, menjelajahi beberapa pemicu dan besarnya dan frekuensi kegagalan yang bisa terjadi," paparnya.
"Kegagalan terbesar dan tsunami terbesar kemungkinan akan terjadi ketika tingkat pengiriman sedimen sangat tinggi tetapi pemicunya jarang terjadi, sehingga ketika kegagalan terjadi mereka sangat besar."
Indonesia mengalami dua peristiwa tsunami yang disebabkan oleh tanah longsor bawah laut pada tahun 2018, yakni ketika sisi gunung berapi Anak Krakatau runtuh dan secara terpisah ketika gempa memicu retakan lereng di Teluk Palu, Sulawesi.
Jadi kewaspadaan tumbuh bahwa tsunami dapat datang dari sumber selain gempa megathrust dasar laut seperti yang terjadi di Sumatra pada tahun 2004 yang mendatangkan malapetaka di sekitar Samudra Hindia.
Presiden Joko Widodo mengumumkan tahun lalu bahwa Indonesia akan memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Kalimantan.
Pusat administrasi baru akan dibangun di dua kabupaten—Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara—di provinsi Kalimantan Timur, dekat dengan kota Balikpapan dan Samarinda.
Jika hal itu terulang saat ini, itu akan menghasilkan tsunami yang mampu menggenangi Teluk Balikpapan, daerah yang dekat dengan ibu kota baru yang dipilih pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tetapi tim peneliti internasional memperingatkan agar tidak bereaksi berlebihan.
"Kami masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menilai situasi dengan tepat. Yang disampaikan, ini adalah sesuatu yang mungkin harus dimiliki oleh pemerintah Indonesia pada daftar risiko di suatu tempat—bahkan jika kita hanya berbicara tentang peristiwa 'frekuensi rendah, dampak tinggi'," kata Dr Uisdean Nicholson dari Heriot-Watt University, Inggris.
Tim peneliti Inggris-Indonesia-nya menggunakan data seismik untuk menyelidiki sedimen dan strukturnya di dasar laut Makassar. Survei tersebut mengungkapkan 19 zona berbeda di sepanjang selat tempat lumpur, pasir, dan lanau jatuh ke lereng yang lebih dalam.
Beberapa slide yang dirilis memaparkan ratusan kilometer kubik material—volume yang lebih dari kolom air mengganggu, dan menghasilkan gelombang besar di permukaan laut.
"Tanah longsor ini—atau mass transport deposits (MTD) seperti yang kita sebut—cukup mudah dikenali dalam data seismik," kata Dr Rachel Brackenridge dari Aberdeen University, penulis utama laporan yang menggambarkan penelitian tersebut.
"Mereka berbentuk lensa dan sedimen di dalamnya kacau-balau; mereka bukan lapisan datar, teratur, seperti tramline yang Anda harapkan akan ditemukan. Saya memetakan 19 peristiwa, tetapi itu dibatasi oleh resolusi data. Akan ada yang jadi lainnya, peristiwa kecil yang tidak bisa saya lihat," katanya kepada BBC, Kamis (23/4/2020).
Semua MTD berada di sisi barat saluran (3.000 m) yang dalam, yang melintasi Selat Makassar. Itu juga sebagian besar berada di sebelah selatan delta outlet untuk Sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang mengeluarkan jutaan meter kubik sedimen setiap tahun.
Tim peneliti berpikir material ini diambil oleh arus di selat dan kemudian dibuang di tempat yang lebih dangkal dari dasar laut jatuh jauh ke kedalaman.
Tumpukan sedimen curam yang dipahat dari waktu ke waktu akhirnya runtuh ke lereng, yang mungkin dipicu oleh guncangan gempa bumi setempat.
Apa yang tidak bisa dikatakan tim saat ini adalah ketika submarine landslides terjadi. Perkiraan terbaik para peneliti adalah dalam periode geologi saat ini—jadi, dalam 2,6 juta tahun terakhir.
Inti yang diekstraksi dari MTD dapat lebih membatasi usia mereka dan frekuensi kegagalan lereng—serta pembentukannya sedang dicari untuk melakukan hal ini.
Tim juga berencana untuk mengunjungi daerah pesisir Kalimantan untuk mencari bukti fisik dari tsunami purba dan untuk memodelkan jenis gelombang yang bisa mengenai garis pantai.
Ben Sapiie, dari Institut Teknologi Bandung mengatakan; "Penelitian ini memperkaya pengetahuan masyarakat geologi dan geofisika Indonesia tentang bahaya sedimentasi dan tanah longsor di Selat Makassar. Masa depan penelitian ilmu bumi menggunakan pendekatan terintegrasi, pendekatan multi-ilmiah dengan kolaborator internasional."
Profesor Dan Parsons, direktur Energy and Environment Institute di Hull University bersama kelompoknya yang mempelajari submarine landslides di seluruh dunia ikut mengomentari penelitian tersebut. "Yang menarik di sini adalah bagaimana sedimen ini sedang bekerja kembali dan menumpuk dari waktu ke waktu di Selat Makassar oleh arus laut," katanya kepada BBC.
"Sedimen ini menumpuk dan kemudian gagal ketika menjadi tidak stabil. Apa yang kemudian kuncinya adalah mengidentifikasi titik kritis, atau pemicu, yang menghasilkan kegagalan. Kami telah melakukan pekerjaan serupa di fjord, menjelajahi beberapa pemicu dan besarnya dan frekuensi kegagalan yang bisa terjadi," paparnya.
"Kegagalan terbesar dan tsunami terbesar kemungkinan akan terjadi ketika tingkat pengiriman sedimen sangat tinggi tetapi pemicunya jarang terjadi, sehingga ketika kegagalan terjadi mereka sangat besar."
Indonesia mengalami dua peristiwa tsunami yang disebabkan oleh tanah longsor bawah laut pada tahun 2018, yakni ketika sisi gunung berapi Anak Krakatau runtuh dan secara terpisah ketika gempa memicu retakan lereng di Teluk Palu, Sulawesi.
Jadi kewaspadaan tumbuh bahwa tsunami dapat datang dari sumber selain gempa megathrust dasar laut seperti yang terjadi di Sumatra pada tahun 2004 yang mendatangkan malapetaka di sekitar Samudra Hindia.
Presiden Joko Widodo mengumumkan tahun lalu bahwa Indonesia akan memindahkan ibu kotanya dari Jakarta ke Kalimantan.
Pusat administrasi baru akan dibangun di dua kabupaten—Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara—di provinsi Kalimantan Timur, dekat dengan kota Balikpapan dan Samarinda.
(min)
tulis komentar anda