Atasi Krisis Akibat Pandemi, Prancis-Jerman Siapkan Paket Recovery

Rabu, 20 Mei 2020 - 09:05 WIB
Warga mengenakan masker pelindung saat beraktivitas di luar ruangan saat pelonggaran lockdown di Milan, Italia, kemarin. Foto/Reuters
PARIS - Prancis dan Jerman menyiapkan paket dana pemulihan atau recovery karena krisis ekonomi yang disebabkan pandemi corona senilai USD545 miliar (Rp8.075 triliun). Dana tersebut akan didistribusikan ke negara-negara Uni Eropa (UE) yang terkena dampak pandemi.

Dalam perundingan antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel sepakat dana tersebut seharusnya dijadikan sebagai hibah. Macron mengungkapkan, proposal itu sebagai langkah maju sebagai jawaban bagi apa yang dibutuhkan negara Eropa untuk tetap bersatu.

“Saya yakini ini sebagai transformasi dalam, dan itu Uni Eropa serta pasar tunggal dibutuhkan untuk tetap koheren,” kata Macron dalam diskusi virtual dilansir BBC.



Sebelumnya, Merkel menolak ide utang berbagi. Namun, akhirnya dia menerima kesepakatan demi persatuan UE. Dana tersebut diambil dari penggalangan dana dengan meminjam di pasar dan akan dibayar dari anggaran UE. Kedua pemimpin juga sepakat bahwa dana pemulihan akan difokuskan untuk membantu investasi di sektor industri ramah lingkungan. (Baca: Pakar: Ekonomi Jauh, Era Arab Saudi Berduit Berakhir)

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengungkapkan proposal itu melingkupi tantangan ekonomi yang dihadapi Eropa. Hal senada diungkapkan Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde yang menyatakan rencana tersebut penuh ambisi dan memiliki target yang jelas.

Hanya saja, Kanselir Austria Sebastian Kurz mengungkapkan, negaranya mendukung dana pinjaman bagi negara anggota UE yang terkena dampak pandemi korona. “Posisi kita tidak berubah,” kata Kurz. Dia mengatakan, pihaknya memperkirakan anggaran UE akan merefleksikan, tetapi prioritas baru dibandingkan dengan penggalangan dana.

Di Asia Tenggara, sejumlah kota-kota di Asia mulai mendekati situasi normal menyusul dengan pelonggaran aturan lockdown di sejumlah negara. Vietnam, salah satu kisah sukses di dunia yang bisa mengendalikan pandemi ini, telah mengizinkan bisnis yang tidak esensial, seperti bar, restoran, bioskop, dan spa dibuka kembali dalam beberapa pekan terakhir.

Vietnam dengan jumlah penduduk sekitar 97 juta jiwa hanya mencatat sekitar 300 kasus Covid-19 di dalam negeri dan nol pasien meninggal, meskipun berbatasan dengan China. Para ahli mengatakan, Vietnam bertindak sejak awal, tidak seperti negara lain yang jumlah infeksi dan pasien meninggal tercatat dalam jumlah besar.

Di Yangon, Myanmar, beberapa ruas jalannya tersendat pekan lalu setelah pemerintah mengizinkan perusahaan untuk kembali beroperasi dengan menerapkan jarak aman antara para pekerjanya. Pemerintah mengatakan aturan pembatasan bisa diberlakukan kembali jika kasus mulai melonjak lagi.

Baik India dan Pakistan telah mulai melonggarkan pembatasan, bahkan ketika kasus terus meningkat karena dampak ekonomi dari lockdown terbukti mahal. Kedua negara belum melihat jumlah kematian yang tinggi, sebuah tren yang mereka harapkan akan bertahan.

Sebelumnya, Australia dan Selandia Baru mengizinkan warganya kembali bekerja dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi virus korona pada pekan ini. Sydney di New South Wales (NSW) merupakan negara bagian pertama yang mengizinkan operasional bisnis selama satu pekan penuh setelah lockdown selama beberapa pekan.

Perdana Menteri (PM) Negara Bagian New South Wales (NSW) Gladys Berejiklian menyarankan agar warga menghindari pengunaan transportasi kereta dan bus saat jam sibuk untuk menjamin jaga jarak. “Kita juga meminta masyarakat untuk mempertimbangkan transportasi lain untuk bekerja,” kata Berejiklian dilansir Reuters.

Menteri Tenaga Kerja dan Ekonomi Menengah Australia Michaela Cash mengatakan, perlunya inisiatif untuk bisa meningkatkan kepercayaan diri pelanggan dalam pemulihan ekonomi yang cepat dan kuat. Pemerintah Federal Australia telah menggelontorkan dana 80 juta dolar Australia untuk program pelatihan bagi tenaga kerja pada saat pandemi. (Baca: Pelecehan Seks Pada Anak di UE Meningkat Saat Lockdown Covid-19)

Menteri Industri Australia Karen Andrews juga meminta perusahaan bersiap untuk menyiapkan karyawannya kembali bekerja. “Kita mengetahui pembatasan telah dilonggarkan, tetapi tersediaan peralatan pelindung diri juga harus dijamin,” katanya. Dia mengungkapkan, tahapan bekerja kembali harus berjalan cepat dan efektif dengan memperhatikan faktor keselamatan.

Banyak warga Sydney sepakat dengan anjuran Pemerintah NSW untuk kembali bekerja ke kantor. Banyak pihak yang khawatir dengan kondisi new normal tersebut.

Erin Kidd, seorang pengacara, mengatakan ada potensi risiko kesehatan dengan kembali bekerja di kantor dibandingkan dengan bekerja di rumah. “Perusahaan harus menjamin lingkungan kerja yang aman sesuai dengan petunjuk dan rekomendasi pemerintah,” kata Kidd dilansir The Sydney Morning Herald.

Bagaimana dengan pekerja yang menolak bekerja di kantor? Menurut pakar hukum Universitas Teknologi Sydney, Joellen Riley Munton, mereka bisa mengambil posisi dirumahkan tanpa gaji. “Namun, perusahaan bisa memaksa pekerja menjalankan pekerjaannya,” katanya.

Di Selandia Baru, setelah dua bulan jutaan warga tinggal di rumah, PM Selandia Baru Jacindra Ardern memerintahkan warganya untuk kembali bekerja. Masyarakat bisa menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi pun. Namun, status darurat tingkat dua masih diberlakukan dengan penekanan pada jaga jarak, hieginitas, dan kebersihan. “Semua negara berusaha menghidupkan kembali ekonominya,” kata Ardern dilansir NZ Herald. (Baca juga: Ratusan negara Dukung Seruan Investigasi Covid-19, Australia Semringah)

Tantangan terberat saat ini, menurut Wali Kota Auckland Phil Goff, adalah menjalankan bisnis dengan normal dan banyak orang bepergian dengan waktu yang sama. “Saya meminta pengusaha menerapkan fleksibilitas untuk mengurangi jam sibuk. Jam masuk dan jam pulang bekerja sebaiknya diatur,” katanya.

Sementara itu, sebagian besar tempat usaha di Italia, termasuk bar dan penata rambut, dibolehkan untuk buka kembali setelah lebih dari dua bulan tutup karena karantina wilayah nasional untuk menekan penyebaran virus korona. Gereja-gereja Katolik sedang bersiap untuk kembali mengadakan Misa, tapi akan ada penjara sosial yang ketat dan para jemaat harus mengenakan masker. Agama lain juga diizinkan untuk mengadakan layanan keagamaan.

Spanyol siap melonggarkan pembatasan di luar Kota Madrid dan Barcelona dengan mengizinkan masyarakat berkumpul hingga sepuluh orang. Spanyol membolehkan keluarga atau teman berkumpul, namun tidak boleh lebih dari 10 orang. Tempat duduk di luar ruangan di bar dan restoran akan diizinkan mulai hari Senin, begitu pula perkumpulan keluarga dan pertemuan antarkawan selama yang berkumpul tidak lebih dari 10 orang. Di Madrid dan Barcelona, sebagian besar pembatasan akan tetap berlaku, tapi beberapa toko kecil diizinkan untuk kembali buka.

Namun, para pejabat kesehatan memperingatkan bahwa kerumunan besar tetaplah berbahaya. “Italia sekarang nyaris menghentikan penularan virus,” kata kepala pusat kesehatan darurat, Fernando Simon. Namun, dia memperingatkan bahwa risiko gelombang kedua kasus “masih sangat besar”.

Negara lainnya di Eropa, Belgia, akan mulai membuka kembali sekolah dasar dan menengah dengan pengaturan ketat pada hari Senin. Portugal, Yunani, Denmark, dan Irlandia termasuk sejumlah negara yang juga akan melonggarkan aturan pembatasan mereka. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More