AS, Eropa dan NATO Rapatkan Barisan untuk Melawan China
Rabu, 24 Maret 2021 - 22:22 WIB
BRUSSELS - Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di seluruh Eropa meningkatkan kerja sama untuk menanggapi perilaku China yang agresif dan koersif. Ini dilakukan beberapa hari setelah AS dan sekutunya meluncurkan sanksi terkoordinasi terhadap pejabat China yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi di wilayah Xinjiang.
"AS ingin bekerja sama dengan mitranya tentang bagaimana memajukan kepentingan ekonomi bersama kita dan untuk melawan beberapa tindakan agresif dan koersif China, serta kegagalannya, setidaknya di masa lalu, untuk menegakkan komitmen internasionalnya," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken seperti dikutip dari AP, Rabu (24/3/2021).
Blinken berbicara setelah pembicaraan di Brussel dengan para menteri luar negeri NATO . Dia akan meningkatkan ketegangan hubungan dengan China dalam pembicaraan Rabu malam dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell.
"Saat kami beraksi bersama, kami jauh lebih kuat dan jauh lebih efektif daripada jika salah satu dari kami melakukannya sendiri," kata Blinken.
Dia mencatat bahwa AS saja menyumbang sekitar 25% dari PDB global, tetapi bisa mencapai 60% bersama sekutunya di Eropa dan Asia.
“Jauh lebih sulit bagi Beijing untuk mengabaikannya,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan aliansi militer itu tidak menganggap China sebagai musuh, tetapi tentu saja kebangkitan China memiliki konsekuensi langsung bagi keamanan aliansi itu. Ia mencatat ukuran ekonomi China dan investasi besar dalam peralatan militer, termasuk rudal berkemampuan nuklir.
“Lebih penting lagi, China adalah negara yang tidak menghargai nilai-nilai kami. Kami melihat bahwa dalam cara mereka menangani protes demokratis di Hong Kong, bagaimana mereka menekan minoritas di negara mereka sendiri, Uighur, dan juga bagaimana mereka benar-benar mencoba untuk merusak tatanan berbasis aturan internasional,” kata Stoltenberg.
Pada hari Senin, AS, UE, Inggris, dan Kanada memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan pada sekelompok pejabat di Xinjiang. China kemudian membalas dengan memberikan sanksi kepada 10 orang Eropa, termasuk anggota parlemen dan akademisi, dan empat institusi. Beijing mengatakan mereka telah merusak kepentingan China dan dengan jahat menyebarkan kebohongan serta disinformasi.
Awalnya, China menyangkal keberadaan kamp untuk menahan Muslim Uighur di Xinjiang, tetapi sejak itu menggambarkan kamp tersebut sebagai pusat untuk memberikan pelatihan kerja dan untuk mendidik kembali mereka yang terpapar pemikiran radikal. Pejabat China menyangkal semua tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di sana.
"AS ingin bekerja sama dengan mitranya tentang bagaimana memajukan kepentingan ekonomi bersama kita dan untuk melawan beberapa tindakan agresif dan koersif China, serta kegagalannya, setidaknya di masa lalu, untuk menegakkan komitmen internasionalnya," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken seperti dikutip dari AP, Rabu (24/3/2021).
Blinken berbicara setelah pembicaraan di Brussel dengan para menteri luar negeri NATO . Dia akan meningkatkan ketegangan hubungan dengan China dalam pembicaraan Rabu malam dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell.
"Saat kami beraksi bersama, kami jauh lebih kuat dan jauh lebih efektif daripada jika salah satu dari kami melakukannya sendiri," kata Blinken.
Dia mencatat bahwa AS saja menyumbang sekitar 25% dari PDB global, tetapi bisa mencapai 60% bersama sekutunya di Eropa dan Asia.
“Jauh lebih sulit bagi Beijing untuk mengabaikannya,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan aliansi militer itu tidak menganggap China sebagai musuh, tetapi tentu saja kebangkitan China memiliki konsekuensi langsung bagi keamanan aliansi itu. Ia mencatat ukuran ekonomi China dan investasi besar dalam peralatan militer, termasuk rudal berkemampuan nuklir.
“Lebih penting lagi, China adalah negara yang tidak menghargai nilai-nilai kami. Kami melihat bahwa dalam cara mereka menangani protes demokratis di Hong Kong, bagaimana mereka menekan minoritas di negara mereka sendiri, Uighur, dan juga bagaimana mereka benar-benar mencoba untuk merusak tatanan berbasis aturan internasional,” kata Stoltenberg.
Pada hari Senin, AS, UE, Inggris, dan Kanada memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan pada sekelompok pejabat di Xinjiang. China kemudian membalas dengan memberikan sanksi kepada 10 orang Eropa, termasuk anggota parlemen dan akademisi, dan empat institusi. Beijing mengatakan mereka telah merusak kepentingan China dan dengan jahat menyebarkan kebohongan serta disinformasi.
Awalnya, China menyangkal keberadaan kamp untuk menahan Muslim Uighur di Xinjiang, tetapi sejak itu menggambarkan kamp tersebut sebagai pusat untuk memberikan pelatihan kerja dan untuk mendidik kembali mereka yang terpapar pemikiran radikal. Pejabat China menyangkal semua tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di sana.
(ian)
tulis komentar anda