Pencabutan RUU Ekstradisi, Carrie Lam: China Dukung Saya

Jum'at, 06 September 2019 - 06:49 WIB
Pencabutan RUU Ekstradisi, Carrie Lam: China Dukung Saya
Pencabutan RUU Ekstradisi, Carrie Lam: China Dukung Saya
A A A
HONG KONG - Pemimpin Hong Kong Carrie Lam menyatakan China memahami, menghormati dan mendukung langkah pemerintahannya secara resmi mencabut rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Lam berharap langkahnya itu akan membantu Hong Kong melangkah maju setelah beberapa bulan mengalami kerusuhan.

Saat konferensi pers kemarin, Lam kembali ditanya mengapa membutuhkan waktu sangat lama untuk mencabut RUU ekstradisi. Namun Lam menghindari menjawab pertanyaan itu. “Tidak tepat sepenuhnya untuk menggambarkan ini sebagai perubahan pikiran,” papar Lam, dilansir Reuters.

Dia menambahkan, penarikan penuh RUU itu keputusan yang dibuat oleh pemerintahannya dengan dukungan China. “Melalui seluruh proses, Pemerintahan Rakyat Sentral (China) mengambil posisi bahwa mereka memahami mengapa kita harus melakukan ini. Mereka menghormati pendapat saya dan mereka mendukung saya sepanjang jalan,” ujar Lam yang terlihat lebih tenang dibandingkan penampilannya di televisi lusa kemarin.

Lam secara resmi mencabut RUU itu pada Rabu (4/9). Indeks Hang Seng Hong Kong menguat lebih dari 4% ke level tertinggi dalam sebulan menjelang pengumuman itu. Pasar kembali menguat 0,4% pada pertengahan hari perdagangan kemarin. Dia juga mengumumkan langkah lain termasuk membuka dialog dengan masyarakat untuk mencoba mengatasi berbagai masalah politik, sosial dan ekonomi, termasuk perumahan dan mobilitas bagi pemuda.

“Kita harus mencari cara mengatasi ketidakpuasan dalam masyarakat dan mencari solusi,” kata dia.Setelah konferensi pers kemarin, Lam pergi menuju provinsi Guangxi, China. Pencabutan RUU ekstradisi itu hanya salah satu dari lima tuntutan pengunjuk rasa. Banyak demonstran dan anggota parlemen menganggap langkah Lam itu terlalu kecil dan sangat terlambat.

Empat tuntutan demonstran lainnya adalah pencabutan kata “perusuh” untuk menggambarkan unjuk rasa, membebaskan semua demonstran yang ditahan, penyelidikan independen terkait kebrutalan kepolisian dan hak warga Hong Kong memilih pemimpin mereka sendiri. Demonstran masih menuntut semua permintaan itu dipenuhi, dengan banyak yang mendesak penyelidikan independen.

Lam menjelaskan, dewan komplain kepolisian independen sangat mampu mengatasi masalah penyelidikan itu. “Kita semua menderita dari bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh pemerintah dan pasukan kepolisian,” tutur Wong, salah satu dari sekitar 100 mahasiswa kedokteran yang berunjuk rasa di Universitas Hong Kong, kemarin.

Para demonstran mengenakan masker gas dan membentuk rantai manusia sambil meneriakkan “Lima tuntutan, sangat diperlukan.” Pengunjuk rasa juga menyerukan slogan, “Bebaskan Hong Kong, revolusi masa kita.” Unjuk rasa direncanakan kembali digelar pada Sabtu (7/9) di bandara. Aksi itu mengulangi unjuk rasa pada Minggu (1/9) saat demonstran memblokir jalanan menuju kota baru Tung Chung hingga memicu bentrok dengan aparat keamanan.

Surat kabar China Daily menyatakan pencabutan RUU itu membuat demonstran tak lagi memiliki alasan untuk melanjutkan kekerasan. Pengumuman resmi Lam itu muncul setelah laporan Reuters bahwa Beijing menolak usulan Lam sebelumnya untuk mencabut RUU itu. Lam juga menyatakan secara pribadi bahwa dia akan mundur jika bisa melakukannya. Laporan itu berdasarkan rekaman audio yang diperoleh Reuters.

Bentrok sempat terjadi di beberapa kawasan, termasuk Po Lam pada Rabu (4/9) malam setelah pengumuman Lam. Kepolisian menyatakan bom molotov dilemparkan di rumah mewah distrik Kowloon pada dini hari kemarin dan tersangka melarikan diri menggunakan sepeda motor. Surat kabar lokal Apple Daily melaporkan rumah mewah itu milik Jimmy Lai, pemilik surat kabar yang saat itu sedang berada di sana.

Pengusaha media Lai merupakan pengkritik pemerintah China dan pendukung pengunjuk rasa pro-demokrasi. RUU ekstradisi dapat membuat para tersangka di Hong Kong dibawa ke pengadilan China. RUU itu dianggap sebagai upaya China memperketat kontrol terhadap Hong Kong meski kota itu memiliki otonomi.

Hong Kong diserahkan kembali ke China pada 1997 dengan kebijakan satu negara dua sistem yang memberi kebebasan dan otonomi pada lebih 7 juta warga kota itu. Unjuk rasa di Hong Kong menjadi tantangan politik terbesar bagi Presiden China Xi Jinping sejak dia berkuasa pada 2012. China menyangkal turut campur masalah Hong Kong dan menuduh negara-negara Barat memicu kerusuhan.

Berbagai gambar dan video yang menunjukkan bentrok antara demonstran dan kepolisian disiarkan langsung televisi di penjuru dunia. Komunitas bisnis internasional dan para turis pun khawatir dengan situasi di kota tersebut. Kunjungan wisatawan ke Hong Kong merosot drastis selama unjuk rasa berlangsung.

Pemerintah Hong Kong memasang iklan satu halaman penuh di Australian Financial Review, kemarin yang menyatakan pemerintah bertekad mencapai perdamaian, resolusi rasional dan masuk akal. “Pemerintah berkomitmen pada satu negara dua sistem,” tulis iklan pemerintah Hong Kong tersebut.

Kalimat terakhir iklan tersebut menyatakan, “Kita pasti akan bangkit lagi. Kita selalu bisa.” Lebih dari 1.100 orang telah ditahan sejak kekerasan terjadi pada Juni. Hong Kong juga menghadapi resesi ekonomi pertama dalam satu dekade akibat unjuk rasa tersebut. Pemerintah China selalu menegaskan menolak kekerasan dan memperingatkan dapat menggunakan kekuatan untuk memulihkan ketertiban.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7443 seconds (0.1#10.140)