Kami Butuh Dukungan dan Saya Mendapatkannya di Sini

Kamis, 28 Februari 2019 - 10:44 WIB
“Kami Butuh Dukungan...
Kami Butuh Dukungan dan Saya Mendapatkannya di Sini
A A A
SEMUA terdiam saat mendengarkan cerita George Najarian sebelum berada di Australia. Berasal dari negara konflik, Suriah, tepatnya di Allepo, cerita George membuat kami yang hadir saat itu larut dalam suasana.

“Saya lahir dan dibesarkan di Suriah. Tapi, saya kehilangan ayah pada 2009 karena serangan jantung. Sebagai putra tertua dalam keluarga, saya merawat keluarga saya, tetapi sayangnya hari-hari semakin buruk di Suriah,” kata pria berusia 30 tahun tersebut di Kantor Settlement Service Internasional (SSI) di Liverpool Road Ashfield, NSW, Australia, Senin (25/2).

Kehidupannya semakin berantakan karena konflik di Suriah. Semuanya menjadi tak terkendali. Semuanya benarbenar berantakan. Semua bangunan hancur, asap mengepul dari tiap penjuru, tubuh tergeletak di mana-mana. Listrik padam, air krisis selama empat bulan.

Dia ingat bagaimana saat kuliah robotika di kampus harus belajar menggunakan lilin sebagai penerang. Krisis air memaksanya menempuh jarak cukup jauh dari tempat tinggal sekadar mencuci tangan.

“Dan Anda tahu, bom meledak dimana-mana. Bisakah Anda bayangkan saat turut ke jalan melihat jejak mobil tank dan tentara berlalu lalang. Getaran terasa di setiap tempat, bahkan rumah-rumah juga bergerak. Semuanya menjadi lebih bu ruk, dan lebih buruk, lebih buruk, dan lebih buruk,” paparnya.

Dia ingat suatu hari pergi ke universitas menggunakan bus dan tiba-tiba bus dihujani tembakan orang tak dikenal.

Dia bisa melihat peluru melayang di atas kepalanya. Kemudian semua orang di bus tiarap, beruntung semua selamat. Kejadian lain, saat pergi ke kampus tiba-tiba seseorang melempar granat ke universitas.

“Jadi dapatkah Anda bayangkan teman-teman Anda terbunuh? Orang-orang yang Anda kenal diculik oleh orang yang tak dikenal dan meminta tebusan 4 juta dolar?” katanya.

Semua kondisi itu membuat mereka akhirnya memutuskan meninggalkan Suriah demi melanjutkan hidup. Perjalanan tidak mudah karena jarak yang biasanya bisa ditempuh hanya dalam waktu tiga jam menjadi 24 jam. Sebelum akhirnya dia bersama adiknya tiba di Lebanon dan tinggal dua tahun sebagai pengungsi.

Tapi, menjadi pengungsi juga bukan persoalan mudah karena banyak batasan. Seperti tidak diizinkan belajar, tak diperbolehkan bekerja. Satusatunya cara mempertahankan hidup adalah menghabiskan semua tabungan yang dimiliki dari Suriah.

Harapan mulai datang saat dia akhirnya mendapatkan visa dari Australia setelah dua kali mengajukan. Saat mendapat kabar itu, dia menangis selama sepuluh menit.

“Saya tidak bisa membayangkan karena ini adalah mimpi bagi kita semua orang. Berada di negara yang aman seperti Australia, di mana kami memiliki semua keluarga ibu saya sebelumnya,” tuturnya.

Di Australia dia menemukan keramahan banyak orang. Dia memiliki pengalaman saat tersesat hendak menuju ke gereja setelah dua hari di Sydney. Beruntung, dia bertemu seorang ibu yang tidak sama sekali dikenal yang tibatiba bertanya tujuannya dan kemudian mengantarnya.

Menurut dia, tantangan terbesar seorang pengungsi setelah sampai di Australia adalah bagaimana beradaptasi dengan semua hal baru. Terutama kehidupan sosial dan bahasa. Dalam situasi seperti ini, dukungan itu menjadi penting.

Di sebuah negara baru, yang dibutuhkan adalah teman yang selalu membantumu, bahkan untuk urusan yang biasanya bisa dilakukan. “Seperti ke supermarket sekalipun. Karena bisa dibayangkan, orang dari Suriah yang datang dengan bahasa berbeda dan harus berbelanja?” tambahnya.

Dari sinilah dia terbantu SSI. Mereka bahkan sudah menyambutnya datang di bandara. SSI juga membantu semua keperluan dasar dari pengungsi sampai bisa stabil di Australia. Mulai tempat tinggal sementara, membantu membuka rekening bank, mendaftarkannya kepemerintah untuk mendapatkan status sebagai penduduk tetap Australia, dan mendapatkan pekerjaan.

Termasuk memasukkannya ke sekolah untuk belajar bahasa Inggris. Sejak saat itu dia merasa mendapat dukungan dari banyak orang. Itu paling penting bagi pengungsi seperti dirinya.

Karena itu, setiap ada kesempatan, termasuk ketika bicara di depan pelajar berusia 14 sampai 15 tahun yang tidak pernah tahu tentang pengungsi, dia mengatakan, “Jika Anda melihat seorang pengungsi, pergi dan peluk mereka, beri tahu bahwa Anda adalah temannya.”

Semua orang benar-benar datang memeluk saya, melakukan swafoto dan berkata, “Anda adalah teman saya.” George menilai, Australia adalah negara di mana penduduknya terbuka pada semua orang dan negara di mana masyarakat akan menghormati selama kita menghormati mereka.

“Inilah yang saya lihat ini dan yang saya temukan selama di sini dan sangat senang berada di negara yang indah ini. Saya mungkin akan disebut sebagi pengungsi, tapi selama beberapa tahun menjadi warga negara Australia saya bangga menjadi bagian dari negara multikultural yang indah ini,” tandasnya.

Sementara itu, Manager Community Engagement and Capacity SSI Trina Soulusa mengatakan, misi mereka adalah mendukung pendatang baru dan warga Australia lainnya yang rentan agar mencapai kesejahteraan.

“Kami bekerja sama de ngan pemerintah dan komunitas untuk meningkatkan kapasitas di berbagai sektor hingga me nim bulkan hasil positif di masyarakat,” katanya. Mengutip Annual Report 2017/2018, SSI telah membantu 4.200 pengungsi untuk beradaptasi di Australia.

Memberikan asistensi pada 5.500 orang men dapatkan pekerjaan dan me ne rima 26.975 tamu di kantor SSI. Selain itu, SSI juga mengklaim memiliki perbedaan dengan organisasi lain, yaitu pelibatan masyarakat. Salah satu kegiatan yang mendapat dukungan dari SSI adalah Trading Circle Four Brave Women.

Bertempat di 26 Lackey St, Summer Hill, NSW, mereka memiliki toko yang memajang dan menjual hasil karya dari perempuan-perempuan hebat yang bergerak di kegiatan sosial melawan kemiskinan di beberapa negara.

Seperti hasil karya wanita-wanita penderita HIV/AIDS, korban pengungsi di Hill Tribes, Utara Thailand, atau korban trafficking di Cebu Filipina. Mereka juga membantu para pengungsi dan pendatang di Australia. Semua dimulai 10 tahun lalu, membuka toko ritel untuk menjual barang-barang yang diproduksi para wanita di salah satu tepat.

Tapi, 11 bulan lalu mereka memutuskan mengembangkan bisnis kemanusiaan mereka. “Kami putuskan mengembangkan pendapatan. Jadi kami perlu menciptakan lebih banyak uang untuk membantu mereka karena benar-benar ingin membantu para pengungsi dan pencari suaka di Australia,” kata CEO Trading Circle CEO Bindi Lea, Selasa (26/2).

MA’RUF
Laporan Wartawan KORAN SINDO, Sydney
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7815 seconds (0.1#10.140)