Gubernur di Afghanistan Tolak Perintah Mundur Presiden Ghani

Senin, 19 Februari 2018 - 11:53 WIB
Gubernur di Afghanistan...
Gubernur di Afghanistan Tolak Perintah Mundur Presiden Ghani
A A A
MAZAR-I-SHARIF - Gubernur Provinsi Samangan, Abdulkarim Khaddam, menolak upaya Presiden Afghanistan Ashraf Ghani untuk memecatnya. Dia menjadi gubernur kedua yang menolak perintah mundur dari Ghani.

Krisis politik itu menunjukkan lemahnya pemerintahan Ghani yang didukung Barat. Abdulkarim Khaddam mengikuti langkah Gubernur Provinsi Balkh, Atta Mohammad Noor, yang menolak mundur dalam perintah pekan lalu untuk pergantian para gubernur provinsi. "Saya tidak menerima pemecatan saya karena ini politik. Saya telah melayani Samangan dengan baik dan rakyat saya tidak ingin saya pergi," ujar Khaddam dalam pernyataan yang ditayangkan televisi, Minggu (18/2/2018).

Ghani selama beberapa pekan terakhir berupaya mengatasi konflik dengan Atta Noor yang menolak menyerahkan jabatannya di Balkh, provinsi yang menjadi jalur perdagangan penting ke Asia Tengah, termasuk ke kota terbesar kedua Afghanistan, Mazar-I Sharif. Dengan para pejuang Taliban yang masih aktif di sebagian besar Afghanistan dan ibu kota Kabul secara rutin mendapat serangan bom bunuh diri, konflik itu memperkuat gambaran lemah dan terpecahnya pemerintahan Ghani. Apalagi pemerintah bersiap menggelar pemilu pada tahun ini. Tidak jelas apakah konflik itu akan mengancam pemerintahan Ghani dan Samangan.

Meski demikian, konflik itu menunjukkan perpecahan politik dan menandai konflik terbuka antara berbagai etnik di Afghanistan. Khaddam merupakan etnik Turkman, tapi dia dan Atta Noor dari Jamiat-i Islami, partai yang banyak didukung etnik Tajik berbahasa Persia dan semakin meningkatkan permusuhan terhadap Ghani dari etnik Pashtun.

Meski Ghani berbagi kekuasaan dengan Chief Executive Abdullah Abdullah dari Jamiat, kedua pihak semakin terlibat konflik. Jamiat menuduh Ghani memonopoli kekuasaan dan memprioritaskan para pendukungnya dari Pashtun. Ghani dan Abdullah membentuk aliansi pemerintahan setelah konflik pemilu 2014.

Pemerintahan saat ini kesulitan menunjukkan persatuan di tengah kritik yang meningkat terkait cara mereka menangani pemberontakan. Perpecahan itu semakin meningkat dalam kasus kartu identitas elektronik baru karena identitas nasional mendaftar warga dengan nama "Afghan". Istilah "Afghan" digunakan di masa lalu oleh Pashtun yang secara umum merupakan kelompok etnik paling kuat. Banyak etnik Tajik menganggap penggunaan istilah "Afghan" akan memperkuat dominasi Pashtun. Etnik Tajik pun menolak menerima kartu identitas baru tersebut.

Dalam langkah simbolik untuk menggalang dukungan pada kartu identitas baru yang disebut "e-tazkiras", Ghani dan istrinya menjadi yang pertama menggunakan kartu baru itu pada pekan lalu. Langkah ini pun semakin meningkatkan perpecahan dalam pemerintahan. Para pemimpin Jamiat ingin ada konsensus nasional yang ditetapkan melalui debat lebih lanjut.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0857 seconds (0.1#10.140)