Liu Xiaobo, Pemenang Nobel yang Dicap Pengkhianat China Meninggal
A
A
A
BEIJING - Kritikus China pro-demokrasi peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Liu Xiabo, meninggal dunia pada usia 61 tahun. Liu dianggap pengkhianat negara oleh kalangan nasionalis China namun dianggap pahlawan oleh Barat.
Dia muncul sebagai tokoh pergerakan ketika demonstrasi berdarah pecah di Lapangan Tiananmen pada tanggal 4 Juni 1989. ”Kami tidak memiliki musuh,” kata Liu pada saat itu.
Ketika diadili pada tahun 2009 atas tuduhan menghasut subversi, Liu mengulang kalimat khasnya tersebut.”Saya tidak memiliki musuh dan tidak memiliki kebencian,” ujar Liu.
Dia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara pada tahun yang sama dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun berikutnya.
Liu meninggal semalam karena kegagalan sejumlah organ. Kematian Liu telah dikonfirmasi pemerintah Kota Shenyang, China, tempat tokoh pro-demokrasi itu tinggal.
Dia dirawat di rumah sakit sejak Juni lalu setelah didiagnosis menderita kanker hati stadium akhir.
Istrinya, Liu Xia, mengatakan kepada Reuters sebelumnya bahwa suaminya ingin mempersembahkan Hadiah Nobel kepada mereka yang meninggal dalam tindakan keras aparat keamanan China di Lapangan Tiananmen di masa lalu.
Liu Xia telah tinggal di bawah tahanan rumah sejak suaminya memenangkan Hadiah Nobel, namun diizinkan mengunjunginya di penjara sebulan sekali. Dia menemani sang suami di hari-hari terakhirnya di rumah sakit.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan penghormatan kepada Liu, menyebutnya sebagai teman dan patriot. Namun, Trump menahan diri untuk tidak mengomentari kematiannya.
”Dia teman saya. Saya sangat menghormati dia,” kata Trump di Paris, yang dilansir Jumat (14/7/2017). ”Kami sudah saling mengenal dengan baik. (Dia) seorang pemimpin besar. Dia orang yang sangat berbakat. Saya pikir dia orang yang sangat baik. Dia mencintai China. Saya dapat memberitahu Anda. Dia mencintai China.”
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson memuji Liu dan meminta agar istri Liu dibebaskan dari tahanan rumah.
”Liu menyerahkan hidupnya untuk kemajuan negaranya dan umat manusia, dan untuk mengejar keadilan dan kebebasan,” puji Tillerson dalam sebuah pernyataan. ”Saya meminta pemerintah China melepaskan Liu Xia dari tahanan rumah dan mengizinkannya meninggalkan China, sesuai dengan keinginannya.”
Liu dianggap moderat oleh sesama pembangkang dan kelompok hak asasi manusia internasional. Tapi bagi kalangan pro-nasionalis terutama bagi kubu Partai Komunis menganggap sosok Liu sebagai pengkhianat yang mengancam stabilitas China.
Selama bertahun-tahun, Liu memenangkan banyak penghargaan HAM. Dia kerap berbicara dari berbagai organisasi termasuk Reporters Without Borders, Human Rights Watch dan Hong Kong’s Human Rights Press Awards. Buku-bukunya telah diterbitkan di Jerman, Jepang, AS, Hong Kong dan Taiwan.
Meski demikian, dia kerap dikecam oleh kalangan nasionalis atas komentarnya dalam sebuah wawancara tahun 2006 dengan majalah Hong Kong. Kecaman itu salah satunya soal komentar Liu yang berbunyi; ”China akan membutuhkan 300 tahun penjajahan agar bisa menjadi seperti yang dilakukan Hong Kong sekarang”.
Dia juga dikritik karena memuji invasi AS ke Irak dan Afghanistan.
Liu merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Dia lahir di Changchun, Ibu Kota Provinsi Jilin, pada tanggal 29 Desember 1955. Ayahnya, Liu Ling, mengajar sastra China di Northeast Normal University.
Ibunya bekerja di taman kanak-kanak yang berafiliasi dengan universitas tersebut. Pada tahun 1970, pada usia 15 tahun, Liu bersama orang tuanya dikirim ke sebuah kamp kerja paksa di wilayah Mongolia pada puncak Revolusi Kebudayaan.
Dia muncul sebagai tokoh pergerakan ketika demonstrasi berdarah pecah di Lapangan Tiananmen pada tanggal 4 Juni 1989. ”Kami tidak memiliki musuh,” kata Liu pada saat itu.
Ketika diadili pada tahun 2009 atas tuduhan menghasut subversi, Liu mengulang kalimat khasnya tersebut.”Saya tidak memiliki musuh dan tidak memiliki kebencian,” ujar Liu.
Dia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara pada tahun yang sama dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun berikutnya.
Liu meninggal semalam karena kegagalan sejumlah organ. Kematian Liu telah dikonfirmasi pemerintah Kota Shenyang, China, tempat tokoh pro-demokrasi itu tinggal.
Dia dirawat di rumah sakit sejak Juni lalu setelah didiagnosis menderita kanker hati stadium akhir.
Istrinya, Liu Xia, mengatakan kepada Reuters sebelumnya bahwa suaminya ingin mempersembahkan Hadiah Nobel kepada mereka yang meninggal dalam tindakan keras aparat keamanan China di Lapangan Tiananmen di masa lalu.
Liu Xia telah tinggal di bawah tahanan rumah sejak suaminya memenangkan Hadiah Nobel, namun diizinkan mengunjunginya di penjara sebulan sekali. Dia menemani sang suami di hari-hari terakhirnya di rumah sakit.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan penghormatan kepada Liu, menyebutnya sebagai teman dan patriot. Namun, Trump menahan diri untuk tidak mengomentari kematiannya.
”Dia teman saya. Saya sangat menghormati dia,” kata Trump di Paris, yang dilansir Jumat (14/7/2017). ”Kami sudah saling mengenal dengan baik. (Dia) seorang pemimpin besar. Dia orang yang sangat berbakat. Saya pikir dia orang yang sangat baik. Dia mencintai China. Saya dapat memberitahu Anda. Dia mencintai China.”
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson memuji Liu dan meminta agar istri Liu dibebaskan dari tahanan rumah.
”Liu menyerahkan hidupnya untuk kemajuan negaranya dan umat manusia, dan untuk mengejar keadilan dan kebebasan,” puji Tillerson dalam sebuah pernyataan. ”Saya meminta pemerintah China melepaskan Liu Xia dari tahanan rumah dan mengizinkannya meninggalkan China, sesuai dengan keinginannya.”
Liu dianggap moderat oleh sesama pembangkang dan kelompok hak asasi manusia internasional. Tapi bagi kalangan pro-nasionalis terutama bagi kubu Partai Komunis menganggap sosok Liu sebagai pengkhianat yang mengancam stabilitas China.
Selama bertahun-tahun, Liu memenangkan banyak penghargaan HAM. Dia kerap berbicara dari berbagai organisasi termasuk Reporters Without Borders, Human Rights Watch dan Hong Kong’s Human Rights Press Awards. Buku-bukunya telah diterbitkan di Jerman, Jepang, AS, Hong Kong dan Taiwan.
Meski demikian, dia kerap dikecam oleh kalangan nasionalis atas komentarnya dalam sebuah wawancara tahun 2006 dengan majalah Hong Kong. Kecaman itu salah satunya soal komentar Liu yang berbunyi; ”China akan membutuhkan 300 tahun penjajahan agar bisa menjadi seperti yang dilakukan Hong Kong sekarang”.
Dia juga dikritik karena memuji invasi AS ke Irak dan Afghanistan.
Liu merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Dia lahir di Changchun, Ibu Kota Provinsi Jilin, pada tanggal 29 Desember 1955. Ayahnya, Liu Ling, mengajar sastra China di Northeast Normal University.
Ibunya bekerja di taman kanak-kanak yang berafiliasi dengan universitas tersebut. Pada tahun 1970, pada usia 15 tahun, Liu bersama orang tuanya dikirim ke sebuah kamp kerja paksa di wilayah Mongolia pada puncak Revolusi Kebudayaan.
(mas)